Kamis, 23 Desember 2010

~BUNUH DIRI, Takdirkah?~

Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.

Dalam hadist di atas, dijelaskan bahwa perkara Ajal adalah perkara yang telah Allah tetapkan waktunya. Tidak bisa dimajukan, ataupun dimundurkan. Perkara ini adalah perkara yang qath’iy. Bahkan didalam al qur’an, hal ini banyak dijelaskan oleh Allah swt. Diantaranya adalah :

Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Lantas timbul pertanyaan, lha… kalau begitu bagaimana dengan orang yang bunuh diri? Apakah aktivas tersebut merupakan suatu yang telah Allah tetapkan?

Untuk menjawab persoalan itu,maka haruslah cermat dalam melihat relitasnya. Bukan hanya secara bahasa saja, sehingga ditafsirkan apa yang di lihat.

Pertama, kita harus membahas dulu tentang hakikat takdir dan kematian itu sendiri. Keduanya tidaklah boleh dicampuradukan. Yang kedua barulah kita menyoal perkara kematian/bunuh diri tersebut.

Kematian/ajal

Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan mematikan. Allah SWT berfirman:

وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).

Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).

Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia. Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut untuk mencabut ruh dari jasad (QS as-Sajdah [32]: 11).

Takdir

Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu ( Al-‘Allim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi kelak. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di lauhul mahfudz (kitab induk dan gambaran umum akan luasnya ilmu Allah SWT).

Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Quran dan hadist Rasulullah SAW. Dengan kata lain taqdir  adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan “segala sesuatu” yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatan, makhluk hidup lain, dan lain-lainnya, semuanya telah tercatat / diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di lauhul mahfudz.

Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu malaikat Jibril datang kepada Muhammad SAW dan bertanya :

 “coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rasulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kiamat, dan percaya kepada taqdir baik dan taqdir buruknya berasal sadi allah SWT.” (Hadist Muslim).

Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasibseseorang di dunia ini maupun di akherat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb.

Pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan ilmu Allah dan kekhususan bagiNya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-Allim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahuiNya.

Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, janganlah mencampur-adukkan antar “iman kepada taqdir” tersebut dengan “amal perbuatan manusia, Karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu.
Rasulullah SAW telah melarang para sahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkab manusia tidak mau berusaha. Harus difahami bahwa ada perbedaan antara : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan.

Telah diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Ali bin abi Thalib ra. Yang artinya :

“Rasulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para sahabatnya). Ditangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggore-gores tanah. Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (syurga) dan jahanam”. Para sahabat terkejut lalu bertanya : “kalau demikian ya Rasulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh allah jalan yang sudah ditentukan baginya,” lalu Rasulullah membaca surat Al lail ayat 5-10”. (syarah shahih muslim, imam Nawawi, juz XVI, hal 196-197).


Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah telah selesai menuliskan takdir semua makhluk, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” Beliau menambahkan, “Dan arsy Allah itu berada di atas air.” (HR. Muslim no. 4797)

Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)

Perlu difahami bahwa apa yang telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) tidaklah menunjukan bahwa Allah swt telah memaksa dalam perbuatan seorang hamba. Tidaklah demikian tafsirnya.melainkan hanya menunjukan bahwa betapa maha luasnya ilmu Allah tersebut. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Allah swt tidaklah zalim terhadap hamba-Nya.

Allah swt berfirman,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)

Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)

Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.

Allah telah memberikan pilihan bagi manusia untuk berbuat. Apakah dia berbuat baik atau jahat (melanggar perintah dan larangan Allah). Dan perbuatan itu yang nantinya akan di hisab. Sama dengan konteks bunuh diri.

Tidak bisa dikatakan kepada orang yang telah meninggal karena bunuh diri dengan perkataan , “semua adalah takdir Allah”.

Karena tak ada seorangpun manusia yang tahu apa yang telah tertulis bagi dirinya di lauhul mahfudz. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seorang yang berkata : “saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di lauhul mahfudz harus berbuat begini”. Karena darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan itu baginya di lauhul mahfudz???

Adanya catatan di lauhul mahfudz bahwa si fulan bin fulan meninggal dalam keadaan bunuh diri tidak bisa dijadikan dasar, karena sekali lagi, adanya catatan di lauhul mahfudz itu tidaklah bisa dikatakan bahwa Allah telah menetapkan perbuatan itu tanpa kecuali sehingga manusia cukup berdiam diri saja. Jelas tidak benar! Para ‘ulama sepakat bahwa apa yang tertulis di lauhul mahfudz itu hanya menunjukan betapa maha luasnya ilmu Allah terhadap apa-apa yang telah Dia ciptakan, baik alam semesta, manusia dan kehidupan.

Apalagi banyak hadist-hadist yang mengharamkan bunuh diri itu sendiri.

“Pernah ada seseorang yang terluka, kemudian dia membunuh dirinya. Maka, Allah pun berfirman: ‘Hamba-Ku telah meminta kepada-Ku menyegerakan (kematian) dirinya, maka Aku haramkan surga untuknya.’” (Hr. Bukhari)

Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi itu selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam nanti ia akan terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan menjatuhkan (dirinya) selama-lamanya.” (HR. Muslim, 109)

Timbul pertanyaan lagi, jika kematian atau ajal telah ditetapkan, bagaimana dengan hadist-hadist yang menceritakan tentang bertambahnya umur manusia?

Seperti bunyi pada hadist :

Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).

Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Karena secara qath’iy jelas kematian/ajal tidaklah bisa ditunda, diundur, atau dimajukan, yang bertambah tidak lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya.

Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).

Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas maka akan di dapat kesimpulan :
1.      Semua yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi kesemunya telah tertulis di kitab lauhul mahfudz.

2.      Kitab lauhul Mahfudz hanya menunjukan betapa maha luasanya keilmuan Allah, yang tidak memaksa atas apa yang tertulis didalamnya terhadap perbuatan hamba.

3.      Perkara datangnya ajal/kematian adalah perkara yang pasti. Namun, Allah akan menghisab sebab-sebab kematian itu, apakah karena bunuh diri atau karena sebab lain. Dan sebab-sebab kematian yang itu terjadi di luar kuasa manusia maka Allah tidak akan menghisabnya, seperti meninggal tertimpa batu, jatuh dari pohon, kecelakaan, dan lain-lain yang kesmuanya itu diluar dari kuasa manusia untuk memilih apakah akan dilakukan ataukah tidak dilakukan.

Wallahu A’lam. []

Senin, 20 Desember 2010

HUKUM MENYENTUH MUSHAF DALAM KEADAAN BERHADATS ( HADAST BESAR DAN KECIL)

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad keluarga dan sahabatnya.

Pada kesempatan kali ini, ada suatu pembahasan menarik yang akan kami sajikan mengenai hukum menyentuh mushaf Al Qur’an bagi orang yang berhadats seperti dalam keadaan tidak suci, dalam keadaan junub, dalam keadaan haidh dan nifas. Apakah orang-orang seperti ini diperkenankan untuk menyentuh mushaf? Tentu saja kita harus kembali pada dalil untuk membicarakan hal ini. Semoga Allah memudahkan kami untuk membahasnya.

Selasa, 14 Desember 2010

Bid'ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Oleh: M. Taufik N.T

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti, maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah sesama muslim.
Tulisan ini saya buat dengan harapan bisa mempererat tali ukhuwwah sesama muslim – apapun organisasinya — dan agar kita bisa menyikapi perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam

Memahami & Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)

Oleh: M. Taufik N.T

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi

Perkataan-Perkataan Ulama Tentang Wajibnya Menegakan Khilafah

Oleh: Musthafa A Murtadlo

Ta’rif Imamah dan Khilafah
  1. Ta’rif lughawi.
Imamul lughah Al-Fairus Abadi dalam Qamus Al-muhith menjelaskan sebagai berikut:[1]
الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدمهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) .

“Secara bahasa Imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah yang memimpin mereka. Yaitu imamah. Sedangkan imamah adalah setiap yang menjadi pembimbing di dalamnya baik pemimpin maupun yang lain”.

Imam Ibnu Mandzur berkata:[2]
الإمام كل من ائتم به قوم كانوا على الصراط المستقيم أو كانوا ضالين .. والجمع : أئمة ، وإمام كل شيء قيَّمه والمصلح له ، والقرآن إمام المسلمين ، وسيدنا محمد رسول الله إمام الأئمة ، والخليفة إمام الرعية ، وأممت القوم في الصلاة إمامة ، وائتم به : اقتدي به .

“Imam adalah setiap orang yang membimbing suatu kaum baik menuju jalan yang lurus maupun sesat… jama’nya adalah “a’immah”. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang mereform dirinya, (maka) Al-qur’an adalah imam bagi kaum Muslim. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai imam. Dan (makna) I’tamma bihi: memberi contoh di dalamnya”.
Sedangkan pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-allamah Muhammad Murtadlo Az-zubaidi menyatakan:[3]
( والإمام : الطريق الواسع ، وبه فُسِّر قوله تعالى : وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79( أي : بطريق يُؤم ، أي : يقصد فيتميز قال : ( والخليفة إمام الرعية ، قال أبو بكر : يقال فلان إمام القوم معناه : هو المتقدم عليهم ، ويكون الإمام رئيسًا كقولك : إمام المسلمين ) ، قال : ( والدليل : إمام السفر ، والحادي : إمام الإبل ، وإن كان وراءها لأنه الهادي لها .. ) أ . هـ .

“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:
وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79(
Maksudnya pada jalan yang “yu’ammu”. artinya (jalan) yang dituju sehingga bisa dispesifikasikan. (orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya dia orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Maka imam itu adalah kepala, sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum muslim. Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar, dan penghalau (unta) adalah imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta…”
Dalam Ash-shihhah Al-jauhari berkata[4]:
( الأمُّ بالفتح القصد ، يقال : أَمّه وأممه وتأممه إذا قصده )

“Al-‘ammu, dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa ta’ammamahu apabila tujuannya padanya”. Dan seterusnya.
Dari semua diskripsi yang disampaikan oleh para Ulama’ terkemuka di bidang bahasa diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian imam, imamah kurang lebih sama.
Sedangkan pengertian khilafah secara bahasa Imam al-Qalqasandi berkata[5]:
ان الخلافة فى الاصل (مصدر خلف, يقال: خلفه فى قومه, يخلفه خلافة, فهو خليفة, ومنه قوله تعالى: وقال موسى لاخيه هارون اخلفني فى قومي (الاعراف: 142)
“Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, (artinya) dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Ta’ala:

Senin, 29 November 2010

Antara Rezeki, Jodoh dan Ajal



Banyak mungkin diantara kita yang masih berpendapat bahwa Rezeki, Ajal, serta jodoh telah ditetapkan oleh Allah semenjak kita masih di dalam kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin telah mendarah daging di dalam diri kita.
Apalagi kiranya sejak kecil mungkin orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat dimana tempat kita hidup pun kalimat ini sampai sekarang masih sangat familiar diulang-ulang.
Untuk membahas ini, maka mari kita coba untuk urai masalah ini sehingga kita bisa menyimpulkan tentang hakikat dari ketiga kata tersebut, yakni seputar Rezeki, Ajal, dan Jodoh.
1. REZEKI
Ar-Rizqu (rezeki) secara bahasa berasal dari akar kata razaqa–yarzuqu–razq[an] wa rizq[an]. Razq[an] adalah mashdar yang hakiki, sedangkan rizq[an] adalah ism yang diposisikan sebagai mashdar. Kata rizq[an] maknanya adalah marzûq[an] (apa yang direzekikan); mengunakan redaksi fi’l[an] dalam makna maf’ûl (obyek) seperti dzibh[an] yang bermakna madzbûh (sembelihan).
Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian).
1. Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain.Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi yang diberikan).
2 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah adalah rizq[an].
Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya.
Ayat-ayat tentang rezeki lebih banyak menunjuk pada harta baik berupa barang maupun jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi aneka kebutuhan manusia. Konteks ayat-ayat bahwa Allah meluaskan dan menyempitkan rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi harta.
Itu pula yang diindikasikan oleh ayat-ayat yang mengaitkan rezeki dengan konsumsi dan infak (pembelanjaan), karena konsumsi dan infak hanya terkait dengan harta.
Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah penguasaan sesuatu dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk menguasai harta. Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram.
Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang diambil penjudi dari lawannya dalam perjudian adalah rezeki.
Sebab, rezeki yang halal ataupun haram itu adalah harta yang diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki.
3.Rezeki bukan hanya yang secara riil dimanfaatkan (dinikmati) oleh seseorang. Ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa rezeki manusia adalah apa saja yang ia kuasai baik yang ia manfaatkan maupun tidak (Lihat QS al-Baqarah [2]: 57, 60; an-Nisa’ [4]: 5; ar-Ra’d [13]: 26; al-Hajj [22]: 34).
Ayat-ayat itu jelas memutlakkan rezeki untuk menyebut semua yang dikuasai baik dimanfaatkan (secara riil) maupun tidak. Tidak bisa dikhususkan pada apa yang dimanfaatkan (secara riil) saja tanpa ada ayat yang mengkhususkannya, karena ayat-ayat tersebut bersifat umum dan penunjukannya juga umum.
Jika orang mencuri, menilap atau merampas harta orang lain, tidak dikatakan ia mengambil rezeki orang itu. Namun, ia mengambil rezkinya dari orang itu. Tidak ada seorang pun yang mengambil rezeki orang lain, melainkan seseorang mengambil rezekinya dari pihak lain.

Senin, 15 November 2010

~Penjelasan mengenai THAHAROH dalam kitab ahkamus Shalat

~Penjelasan mengenai THAHARAH dalam kitab Ahkamus Shalat karya Ali Raghib, Seorang Ustadz (Profesor) di Universitas Al Azhar~
A. THAHARAH

Thaharah menurut bahasa adalah suci dan bersih dari kotoran. Adapun thaharah menurut istilah para ulama ahli hukum Islam (fuqaha) adalah menghilangkan hadats dan najis atau sesuatu yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya. Yang dimaksud dengan ungkapan “yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya” , yaitu seperti: tayamum, mandi besar yang disunnahkan, cucian yang kedua, bekumur dan sejenisnya.

Jumat, 12 November 2010

diskusi hizbiyin dan ikhwan

~TANGGAPAN TULISAN “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir” yang ditulis oleh Shinichi Kudo on Thursday, November 11, 2010~

oleh Adi Victory pada 12 November 2010 jam 17:54
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah, segala puji Allah, tuhan semesta alam (al kauniy) manusia (al insan) dan kehidupan (al hayah), serta Dia yang mengatur interaksi daripada ketiganya tadi. Allah, tuhan yang telah menurunkan syari’at Islam melalui Rasulullah SAW yang ditujukan untuk mengatur manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan penciptanya. Inilah kesempurnaa Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideology atau mabda’iy. Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sIstem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia.

Firman Allah Swt: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89) Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.

Keharusan mengikuti syariat Islam, terutama jejak langkah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw, telah ditegaskan oleh firman Allah Swt: قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي “Katakanlah, ‘Inilah jalan (dakwah)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata..” (TQS. Yusuf [12]: 108)

Selasa, 09 November 2010

Adab Menyambut Tamu

Adab Menyambut Tamu; Refleksi Kunjungan Obama Ke Jakarta

Oleh Fathuddin Ja’far

Sungguh merupakan keagungan Islam bahwa ajaran dan sistemnya mencakup semua aspek kehidupan, sejak dari sistem keimanan (akidah), ibadah, syari’ah (berbagai peraturan dan perundang-undangan), mu’amalah (ekonomi dan bisnis), akhlak , budaya, seni, hubungan internasional, sampai tata cara masuk toilet dan menyambut tamu.

Kamis, 04 November 2010

Industri dan Teknologi Militer Negara Khilafah

Industri dan Teknologi Militer Negara Khilafah

Masa awal pemerintahan Islam, jihad sebagai metode mendasar penyebaran dakwah Islam telah menjadi bagian penting dari upaya membangun kekuatan Daulah Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Oleh sebab itu diperlukan persiapan baik logistik, formasi perang, strategi, komandan dan para pasukan serta persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya industri.

Jumat, 29 Oktober 2010

Hizbut Tahrir Dan Sepuluh Burung

Hizbut Tahrir Dan Sepuluh Burung

oleh Rahmat Rana pada 29 Oktober 2010 jam 17:30
Satu burung di tangan lebih baik dari sepuluh burung di atas pohon.” Dengan kata kiasan ini telah menjadikan mudah bagi setiap pengemban misi untuk berpaling dari rel tujuan yang diinginkan menuju rel tujuan yang dipengaruhi oleh realitas dan tekanan yang sulit dihadapi dan dilaluinya.

Rabu, 27 Oktober 2010

Sumpah Pemuda: antara perjuangan dan repleksi kaum muda

Mungkin bulan oktober ini dapat dibilang bulannya pemuda di Indonesia.Awal Oktober ketika dunia Islam tertuju ke Indonesia, ketika ulama-ulama dunia, dai’,pemuda Islam berkumpul di Indonesia pada Konferensi International , Word Assembly of Moslem Youth (WAMY) yang menyimpulkan tentang peran pemuda muslim dimasa yang akan datang.
Ramainya rubrik media dengan kolom pemuda dan juga mahasiswa. Pada tanggal 20 Oktober, dimana pada peringatan satu tahun pemerintahan SBY dan Boediono, dimana pemuda-pemuda terlibat demonstrasi, dan beberapa diantaranya berakhir dengan ricuh. Dan pada tanggal 28 Oktober ini,hari dimana dianggap sebagai hari Sumpah Pemuda.

SYURA BUKAN DEMOKRASI

Pengantar
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan  sudah lama adanya.  Meski demikian, anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam," di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.
Namun demikian,

Jumat, 15 Oktober 2010

Ukhti... Aku Merindukanmu... (Sebuah Muhasabah)

Ukhti.. Aku Merindukanmu.. (Sebuah Muhasabah)

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Apa kabar ukhti..? Aku yakin, ukhti akan selalu dalam kondisi prima. Karena pikiran positif ukhti yang hebat dapat menyingkirkan kesedihan dan jutaan tekanan.

Selasa, 21 September 2010

Indahnya Sistem Islam, Solusi Alternatif Mengganti dan Menuntaskan Kebobrokan Sistem Peradilan Sekuler Demokratis

oleh Anggara Kelana pada 22 September 2010 jam 9:46
Masyarakat sekarang seolah menjadi masyarakat yang terdidik, melek hukum, dan sadar politik. Respon penguasa dengan mencanangkan program “ganyang Mafia” peradilan/hukum pada tanggal 5/11/09 sebagai bagian dari agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tidak menjadikan otomatis masyarakat percaya. Karena seperti pepatah nasi telah menjadi bubur, juga sekalipun pemerintah kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban atau bahkan dengan pembentukan Satgas

Selasa, 14 September 2010

~Satu Perjuangan, Ukhuwah dan Salam~

~Satu Perjuangan, ukhuwah dan salam~

oleh Adi Victory pada 14 September 2010 jam 14:56
Ukhuwah bukan hanya sekedar kata-kata indah dalam sms-sms atau pembicaraan kita, namun kenyataannya kita masih jauh dari konsep ukhuwah yang indah itu.

Ukhuwah bukan sebuah “basa-basi”. Ukhuwah bermula dari kejujuran hati kita, bermula niat kita saling mencintai karena Allah

Sabtu, 11 September 2010

Jumat Berharga

.Oleh Anung Umar
Di hari Jumat ini saya mendapatkan beberapa "kejutan" yang berharga. Semua itu bermula ketika saya berangkat ke masjid di dekat rumah untuk menunaikan shalat Jumat. Ketika sampai di masjid, terlihat beberapa polisi dan mobil ambulan diparkir dekat masjid.
Saya bertanya-tanya dalam hati ada apa polisi banyak berdatangan ke sini? Dan ada apa pula ambulan di sini? Saya bertanya kepada tetangga yang kebetulan ada di situ, "Ada Gubernur ya? Kok rame gitu? " Itu yang saya kira awalnya. Karena memang kondisinya mirip ketika Gubernur DKI datang ke tempat itu. Ia menjawab, "Nggak, itu ustadz fulan (tidak perlu saya sebutkan namanya) meninggal. " Inna lillah wainna ilaihi raji'uun... Ustadz yang selama ini mengajar dan mengisi khutbah di masjid ini meninggal.
Tetangga saya yang lain mengabarkan bahwa meninggalnya itu mengagetkan banyak orang karena tidak didahului dengan penyakit atau kecelakaan, pokoknya sebelumnya sehat wal afiat. Meninggalnya diketahui di waktu sahur, tatkala anaknya membangunkannya untuk bersantap sahur. Ia sempat bangun dan sedikit menjawab, lalu tidur lagi dan tidak bangun lagi seterusnya. Setelah mendengar penuturan tetangga saya tadi, saya pun masuk ke masjid, shalat tahiyyatul masjid kemudian membaca Al-Quran, sambil menunggu datangnya khotib. Tidak berapa lama khotib pun naik mimbar menyampaikan khutbah.
Khotib memulai khutbahnya dengan mengingatkan hadirin jamaah Jumat untuk mengisi Ramadhan dengan amal-amal saleh. Khotib mengingatkan apakah hadirin di hari-hari yang penuh berkah ini [baca: Ramadhan] sudah pernah menangis karena takut kepada Allah, takut akan siksa-Nya dan takut terhadap dosa-dosa yang telah dikerjakan? Ya Allah, kenapa saya lalai dari ini? Berlalu dua pertiga Ramadhan tapi kondisi saya masih...
Kemudian khotib berkata, "Sudahkah kita menangis karena takut kepada Allah? Atau kita menangis hanya karena kesulitan hidup? Khawatir tidak bisa makan besok? Atau karena ditinggalkan orang yang kita sayangi saja? " Subhanallah! Betul juga, kenapa yang selama ini ditangisi dan ditakuti hanya masalah dunia? Kenapa yang selalu muncul di kepala "takut miskin", "takut menganggur", "takut tidak dapat kerja" dan yang semisal dengannya! Bukankah adzab kubur dan neraka lebih menakutkan dibandingkan semua itu?

Kemudian khotib membacakan suatu hadits Nabi yang maknanya: “Wahai manusia, menangislah, jika kalian tidak dapat menangis, berusahalah untuk menangis. Karena sesungguhnya penduduk neraka akan menangis sampai air mata mereka mengalir ke pipi-pipi mereka seperti anak sungai hingga air mata mereka habis. Setelah habis, yang keluar bukan lagi air mata akan tetapi darah. " Naudzubillah min dzalik.. Suasana seperti mencekam, sampai-sampai saya melihat orang-orang yang ada di depan saya seolah-olah terperangah mendengarnya, karena selain isi hadits yang "menakutkan", khotib juga membacanya seperti orang yang merintih kesakitan.
Kemudian di akhir khutbah khotib kembali mengingatkan agar jangan ketakutan kita terhadap masalah dunia mengalahkan ketakutan kita terhadap prahara hari kiamat. Khatib berkata, "Kenikmatan dan kesengsaraan di dunia itu sementara, Berapa lama sih kita hidup di dunia? Mungkin paling lama sampai usia tujuh puluh tahun, sedangkan kenikmatan dan kesengsaraan di akhirat tidak berujung dan berpenghabisan. " Subhanallah! Betul juga, kenapa kita harus bersedih dan takut dengan kesengsaraan di dunia yang sementara ini?! Kenapa kita harus putus asa dan tidak sabar dengan kesusahan yang sering dirasakan, padahal kalau dibandingkan kesusahan yang dirasakan di akhirat nanti tentu kesusahan sekarang ini sangatlah sebentar dan tak seberapa!
Selesailah khutbah, lalu dilanjutkan dengan shalat Jumat. Kemudian setelah itu diumumkan kepada jamaah bahwa akan diselenggarakan shalat jenazah yaitu menyolati jenazah ustadz yang meninggal tadi. Yang membuat saya heran ketika itu, siapa sangka seorang ustadz "kampung", sosok sederhana yang jauh dari ketenaran, yang hanya mengajar ngaji dan mengisi khutbah, yang memiliki rumah hanya tipe RSSS (rumah sangat sederhana sekali) yang bila ingin menuju ke rumahnya harus melalui gang-gang sempit, ternyata dishalati orang-orang "besar" seperti Kapolsek dan Camat beserta para staf keduanya. Bahkan ada juga aparat TNI yang ikut menyolatinya, entah itu Danramil atau siapa, yang jelas saya yakin kalau ia aparat TNI yang memiliki jabatan lumayan tinggi.
Lantas kok bisa orang-orang "besar" itu kenal dengannya? Ternyata "rahasia" itu terkuak setelah salah seorang pengurus masjid memberitahukan bahwa ustadz ini selama hidupnya selain mengajar di masjid beliau juga ternyata merangkap sebagai dai Kamtibmas. Oh pantas..Tapi walaupun begitu tidak mengurangi kekaguman saya kepadanya mengingat kesahajaannya.
Cukup mengagumkan. Akan tetapi yang lebih mengagumkan lagi, di malam hari yang besoknya ia meninggal, ia sempat mengirim SMS ke Kapolsek dan itu adalah SMS terakhir yang diterima darinya(ustadz itu). Apa isinya? Di hadapan kami, jamaah yang ingin menyolati jenazahnya, Kapolsek membacakan isi SMS itu dengan mata berkaca-kaca, sayangnya saya tidak hafal seluruh kata-katanya, akan tetapi intinya ia menasehati Kapolsek untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan di bulan Ramadhan ini dan hendaknya tatkala menghadapi berbagai masalah memperbanyak dzikir (mengingat) Allah. Subhanallah! SMS terakhir sebelum meninggal! Nasehat terakhir di akhir hidupnya! Semoga Allah merahmatimu, melapangkan kuburmu dan menempatkanmu di tempat yang diridhai-Nya, wahai ustadz!

Selasa, 07 September 2010

Jawaban Atas Fitnah Keji Kepada Hizbut Tahrir

Banyak tulisan dan fitnah yang merujuk pada buku Al-Mawsu’ah al-Maysirah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah yang dikeluarkan oleh An-Nadwah al-’Alamiyah li asy-Syabab al-Islami (WAMY), dan tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir. Padahal buku keluaran WAMY itu juga tidak merujuk pada sumber-sumber primer Hizbut Tahrir, tetapi merujuk pada buku lain karya Shadiq Amin yang berjudul Ad-Da’wah al-Islamiyyah Faridhah Syar’iyyah wa Dharurah Basyariyyah. Buku karya Shadiq Amin ini pun dipenuhi dengan fitnah dan kedustaan.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Menjawab Opini Negatif Terhadap Syariat Islam

 Berkenaan dengan gagasan penerapan syariat Islam, ada sejumlah tuduhan miring yang dilontarkan, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Tuduhan miring ini lebih merupakan upaya penciptaan opini negatif terhadap citra syariat Islam. Disebut opini negatif karena opini tersebut memang tidak sesuai dengan realitas syariat Islam itu sendiri. Opini negatif terhadap syariat Islam ini bila dicermati pada dasarnya disandarkan pada dua hal (i) konsepsi tentang Islam, dan (ii) kondisi faktual di masyarakat. Beberapa opini negatif yang saat ini mulai disuarakan dengan lantang di berbagai media massa sesuai dengan dua hal di atas adalah sebagai berikut.

Senin, 09 Agustus 2010

*Propaganda Anti Islam Dibalik Perang Melawan Terorisme*


Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas.

Jumat, 06 Agustus 2010

ISLAM YANG DIKEHENDAKI MUSUH-MUSUHNYA

ISLAM YANG DIKEHENDAKI MUSUH-MUSUHNYA (Fahmi Amhar, Wina 1997)

adalah Islam yang tinggal ahlaq, tanpa jihad,
adalah Islam yang tinggal ibadah, tanpa syari'ah,
adalah Islam yang boleh menyinari rumah-tangga,
namun bukan industri atau niaga,

adalah Islam yang boleh ada di masjid dan mushola, tapi bukan kantor pemerintah dan swasta,
adalah Islam yang boleh bicara tentang akherat,
tapi tidak tentang cara melayani rakyat,
adalah Islam yang diamalkan para pertapa shufi,

dan bukan para umara' yang peduli,
bukan alim ulama’ yang hati-hati,
bukan kaum aghniya' yang zuhdi
bukan pula mujahidin yang tak takut mati.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Islam yang mengemis pada Barat,
bukan yang mampu menolong sendiri ummat,
di Bosnia, di Palestina, atau di Iraq,
di manapun ummat berkhidmat,
apalagi menolong dunia dari laknat,
future schock, disorientasi kehidupan,
kerusakan ekosistem, AIDS, narkoba,
dan kesewenang-wenangan kapitalis keparat.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Qur'an dibacakan di masjid dan arena tilawah,
bukan di sidang kabinet atau mahkamah,

adalah Qur'an disampaikan ke orang mati atau sekarat,
bukan pada orang hidup yang sehat,

adalah Qur'an diajarkan di madrasah dan pesantren,
bukan di sekolah bisnis yang keren,

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Rasul sebagai panutan fatamorgana,
sedang selebriti kondang tetaplah idola,
bahkan terkadang Rasul pun sekedar,
tokoh historis yang juga bisa salah dan dosa.

Ya Allah, Islam seperti inikah yang kau janjikan sebagai rahmat bagi seluruh semesta?

Dan ummat seperti inikah yang Kau hadirkan sebagai yang terbaik ke tengah manusia?

(Wina, 1997)

Selasa, 27 Juli 2010

ustd menjawab

Saudara Abdullah yang dirahmati Allah swt

Da’wah kepada Allah swt adalah perbuatan mulia di sisi-Nya karena dengannya manusia atau suatu masyarakat akan keluar dari lembah kejahiliyahan yang penuh dengan kemaksiatan menunju ketinggian marifah dan cahaya islam yang penuh dengan ketaatan dan keredhoan Allah swt.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. 41: 33)

Karena da’wah inilah umat Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari Allah swt dengan umat terbaik ditengah-tengah manusia karena hidup mereka bukanlah untuk diri mereka sendiri akan tetapi untuk orang lain dan umatnya. Peluh dan keringat yang membasahi tubuhnya, harta benda yang dikeluarkannya, ilmu yang tuangkannya, pemikiran konstruktif yang terus dieksplorasi hingga jiwa yang harus melayang didalam aktivitas da’wahnya adalah dikhidmatkan untuk umatnya semata-mata mengharap ridho Allah swt.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ


Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Al Imran : 110)

Sebaliknya dengan orang-orang Bani Israil yang dilaknat Allah swt dikarenakan tidak menegakkan da’wah dengan benar. Mereka hanya memikirkan dirinya dan tidak orang lain atau umatnya. Mereka adalah orang-orang egois yang pernah ada yang hanya berfikir kebaikan ada pada dirinya saja dan tidak pada orang lain sehingga hilang kebiasaan saling mencegah kemunkaran di tengah-tengah mereka.

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ ﴿٧٨﴾
كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ ﴿٧٩﴾


Artinya : “Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78 – 79)

Karena dawah kepada Allah memiliki tujuan mulia maka diharuskan bagi seorang da’i atau jamaah da’wah untuk berpegang teguh dengan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah swt didalam dawahnya.

Islam tidak mengenal istilah tujuan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan aturan-aturan syari yang ada didalamnya. Akan tetapi sebaliknya, islam berprinsip tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Islam tidak membenarkan seorang dai yang ingin menunjukkan hidayah kepada seorang pemabuk dengan cara ikut mabuk bersamanya, ikut berjudi bersama seorang penjudi yang diharapkannya mendapat hidayah, atau menunjuki umat kepada hidayah-Nya dengan uang hasil pemerasan, suap, menzhalimi orang atau cara-cara haram lainnya.

Tak seorang pun diperbolehkan merubah sesuatu yang telah dihalalkan Allah swt menjadi haram atau yang telah diharamkan-Nya menjadi halal hanya semata-mata baiknya tujuan yang akan dicapai atau untuk kemasalahatan umat dan dawah. Fiqh Dawah tidaklah dipakai sebagai sebuah alasan untuk melanggar hukum-hukum Allah swt.

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ


Artinya “Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf : 40)

Karena itu Allah dan Rasul-Nya mengecam para alim ulama dan ahli ibadah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah mengambil hak Allah didalam menentukan hukum terhadap sesuatu dengan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya dan Al Quran menyebut mereka sebagai tuhan (tandingan) Allah swt serta mengecam para pengikutnya yang mengikuti hukum-hukum yang dibuat mereka padahal bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan Allah swt.

Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Adi bin Hatim berkata: Aku mendatangi nabi Shallallahu saw dan di leherku ada salib emas, beliau bersabda: "Hai Adi, buanglah berhala itu darimu." Dan aku mendengar beliau membaca dalam surat Al Baraa`ah: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.' (At Taubah: 31) beliau bersabda: "Ingat, sesungguhnya mereka tidak menyembah mereka tapi bila mereka menghalalkan sesuatu, mereka menghalalkannya dan bila mengharamkan sesuatu, mereka mengharamkannya."

Semoga Allah swt senantiasa memberikan perlindungan kepada para dai yang senantiasa ikhlas menyeru di jalan-Nya dan memberikan kekuatan kepada mereka didalam berkomitmen dengan aturan-aturan dan hukum-hukum-Nya serta memberikan hidayah kepada umatnya. Amin

Kamis, 22 Juli 2010

Ki Bagoes Hadikusumo ( 1890-1954)

Ki Bagoes Hadikoesoemo (1890-1954)
PEJUANG SYARIAH YANG DIKHIANATI
SOEKARNO

Di indonesia, ketika masa penjajahan kekaisaran majusi jepang (1942-1945) penduduk yang mayoritas muslim ini di paksa untuk seikerei yakni membungkuk (mirip ruku’) ke arah tokyo sambil memusatkan hati kepada Hirohito (1991-1989). Hirohito adalah kaisar Jepang yang di anggap sebagai keturunaan dewata yang katanya turun dari kayangan untuk kemakmuran manusia dalam lingkungan asia raya dan di beri gelar tenno heika (yang maha mulia kaisar).
Doktrin Fasisme Najusi Jepang tersebut di tanamkan pula pada seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Setiap jam tujuh pagi semua murit wajip melakukan seikerei. Tentu hal itu membuat berang setiap Muslim yang imannya tertancap kokoh dalam jiwanya.
Maka bangkit lah para ulama penentang arus kemusrikan itu termasuk Ki Bagoes Hadikoesoemo, ketua umum Muhammadiah saat itu. Ia berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan umat islam dan warga Muhammadiah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. ”seikerei terlarang bagi umat islam karena bertentangan dengan tauhid!” tegasnya.

Pemimpin Umat,
Ki Bagoes di lahirkan di kampung kauman yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 11 rabi’ul akhir 1038 H. Ia putra ke-3 dari 5 bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat agama islam di kraton Yogyakarta). Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagoes mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa kiai di kauman.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) di tambah mengaji dan besar di pesantren tradisional wonokromo, tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitap-kitap fikih antasauf akhirnya dia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat.
Secara formal, di sampang kegitan tabligh, Ki Bagoes pernah menjadi ketua majelis tabligh (1922), ketua majelis tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiah (1926), dan ketua PP Muhammadiah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan yang mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiah.
Ki Bagoes adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk mencontoh nabi Muhammad SAW yakni menginstutisionalisasikan islam. Bagi Ki Bagoes pelembagaan islam menjadi sangat penting untuk alasan –alasan idiologi, poliltis, dan juga intelektual.
Ki Bagoes juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya salah satu bukunya yanng ia tulis adalah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin.
Maka dalam rangka menegakkan hukum islam di Indonesia, di masa penjajahan kerajaan protestan belanda, ia dan bebera ulama lain nya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesteraden comisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum islam.
Akan tetapi Ki Bagoes di kecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang di dukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang di berlakukannnya hukum islam untuk kemudian di ganti dengan hukum adat melaluli penetapan ordonasi 1931.

Kekecewaannya ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu.

Namun ia tidak pata arang. Meskipun BPUPKI di buat oleh penjajah Jepang yang menunjuk pentolan nasionalis sekuler soekarno sebagai ketuanya, Ki Bagoes berusaha merealisasikan cita-citanya melalui badan itu. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang syari’ah dengan kelompok nasinalis sekuler dan kristen.

Pada 22 juni 1945, panitia 9 yang di bentuk BPUPKI menandatangani rancangan Undang-Undang Dasar Negara RI yang belakangan di sebut sebagai Piagam Jakarta. Meki telah di sahkan namun tetap menimbulkan kontropersi. Pihak islam belum puas. Begitu juga, pihak kristen di wakili Latuharharry sempat mmenyual rumusan tersebut.

Meski demikian perdebatan alot terus terjadi antara pejuang syari’h dan kelompok lainnya terutama terkait degan dasar negara dan formalisisi penerapan syari’ah islam. Ki Bagoes tentu saja di kubu islam yang menginginkan negara berdasarkan islam dan memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk menjalankan agamanya.

Sedangkan Soekarno berusaha menengahi denngan gaya kompromistis (baca:mencampurkan yang hak dan yang batil). Dalam rapat BPUPKI 11 juli 1945 Soekarno menyatakan,
“saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuann-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan di dasar kan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah di terima panitia ini”.
Pada rapat 14 Juli 1945, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya di coret. Jadi bunyinya hanya ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.
Karena Ki Bagoes menyadari Islam bukan saja mengajarkan ibadah Mahdhah yang hanya mengatur ritual kaum muslim saja tetapi merupakan ajaran yang sempurna yang mengatur negara dan masyrakat seperti yang telah di contohkan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW memimpin negara Madina dengan Syariah Islam padahal penduduknya Plural, disamping bermacam suku dari berbagai bangsa tetapi juga bermacam agama seperti Islam, Yahudi, Kristen dan penyembah berhala.
Pendapatnya pun ditolak kelompok Nasionalis Sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta anggota BPUPKI: “Sudahlah, hasil kompromi diantara dua pihak, sehingga dengan kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromi berdasar kepada memberi dan mengambi, geven dan nemen.”
Namun sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, dihapuslah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata) itu alih-alih hanya menghapus tiga kata terakhirnya saja seperti yang diusulkan Ki Bagoes.
Tujuh kata tersebut, dihapus dengan dalih golongan protestan dan katolik lebih suka berdiri dipulau republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan pun melobi kelompok Islam termasuk Ki Bagoes agar setuju kata tersebut diganti dengan yang Maha Esa.
Almarhum Husein Umar (Terakhir sebagai ketua umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapak Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD Darurat, UU Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk apa yang tuan-tuan dari golongan Islam Inginkan silahkan perjuangkan disitu,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti 6 bulan lagi. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah Tauhid maka tentramlah Hati Ki Bagoes. karena dalam pandangan Ki Bagoes hanya Islamlah agama Tauhid. Namun 6 bulan kemudian Soekarno tidak menepati Janji. Majelis Permusyawaratan rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah Proklamasi (1955). Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian. [dari berbagai sumber]

Islam bukan sistem politik??

Islam bukan sebuah sistem Politik???
Tulisan ini saya kirim keforum milis myQuran@yahoogroups.com, myQuran@googlegroups.com dan eramuslim@yahoogroups.com dimana saya aktif pada ketiga milis tersebut dan sebagaimana sebelumnya tidak lupa juga saya CC-kan tulisan ini kealamat email Sdr. Ulil Abshar Abdhalla dan juga redaksi situs Islam Liberal yang saya temukan dialamat http://islamlib.com/id/kontak.php dengan harapan tulisan ini memang sampai ketujuan sebenarnya. [alamatnya : ulil99@yahoo.com ; redaksi@islamlib.com ]

INILAH AMAL PEMBUKA REZEKI

*


oleh mashadi

Manusia hanya dapat mengharapkan pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla. Tidak dapat menggantungkan diri kepada makhluk. Hanya Allah Rabbul Alamin yang berhak untuk dimintai pertolongan ‘Iyyaka nasyta’in’, datangnya pertolongan itu hanyalah dari Rabb semata.

Manusia dan kelompok yang menggantungkan hidupnya kepada makhluk lainnya, pasti akan mendapatkan dirinya terjatuh ke dalam lembah kehinaan dan kesesatan belaka.

Diantara pintu yang akan mengantarkan pintu rezeki, dan menjauhkan dari kesempitan hidup adalah :

1.Membaca “La ilaha illahah”.

Barang siapa yang lambat rezekinya hendaklah banyak mengucapkan la hawla wala quwwata illa billah (HR.At-Tabrani.

2.Membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”.

Barangsiapa yang membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”, maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur”. (HR. Abu Nu’aim dan Ad-Dailami).

3.Melanggengkan Istighfar.

“Barangsiapa melanggengkan istighfar, niscaya Allah mengeluarkan dia dari segala kesusahan dan memberikan dan memberikan dia rezeki dari arah yang tidak diduganya”. (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

4.Membaca Surah Al-Ikhlas.

“Barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas ketika masuk rumah, maka (berkah bacaan) menghilangkan kefakiran dari penghuni rumah dan tetangganya”. (HR.Tabrani).

5.Membaca surah al-Waqi’ah

“Barangsiapa membaca surah al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan ditimpa kesempitan hidup”. (HR. Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

6.Memperbanyak Shalawat atas Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam.

Ubay bin Ka’ab meriwayatkan , bila telah berlalu sepertiga malam, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam berdiri seraya bersabda, “Wahau manusia, berzikirlah mengingat Allah. Akan datang tiupan (sangkakala kiamat), pertama kemudian diiringi tiupan keuda. Akan datang kematian dan segala kesulitan yang ada di dalamnya”.

7.Membaca “Subhanallah wabihamdihi subhanallahil ‘adzhim.

..dari setiap kalimat itu seorang malaikat yang bertasbih kepada Allah Ta’ala sampai diberikan untukmu sampia hari Kiamat yang pahala tasbihnya itu diberikan untukmu”. (HR.Al-Mustaqfiri dalam Ad-Da’wat, dinukilkan dari Ihya Ulumuddin al-Ghazali).

Sementara itu, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada beberapa orang musyrik yang telah berbuat maksiat dan dosa, yaitu mereka membunuh dan berzina. Maka, m ereka menghadap Rasulullah untuk bertobat. Mereka pun bertanya kepada beliau, apakah akan diterima tobat mereka? Maka, turunlah ayat ini yang menerangkan hendaknya jangan berputus asa untuk terus mencari ampunan Allah Rabbul Alamin.

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Qur’an : Az-Zummar : 53)

Semoga Allah Azza Wa Jalla memberikan rezeki dan melapangkan jalan hidup kaum muslimin, dan jauhkan dari jalan-jalan setan, yang selalu akan menyesatkan. Wallahu’alam.

Rabu, 21 Juli 2010

~Menyoal Fiqh Al-Waqi` (karangan menyoal Fiqh Al-Waqi)

Fiqh al-wâqi‘ (fikih realitas) merupakan gagasan dasar Yusuf al-Qaradhawi dalam upayanya melakukan pembaruan fikih untuk menyikapi realitas modern. Dalam kitabnya, Fiqih Peradaban (1997), al-Qaradhawi menjelaskan, fiqh al-wâqi’ ialah pengetahuan mengenai realitas yang sebenarnya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. (1997: 292). Realitas ini penting dipahami karena, menurut al-Qaradhawi, pemahaman atas realitas akan menjadi pertimbangan tentang bagaimana kita berhubungan dengan realitas: apakah realitas itu akan kita terima atau kita tolak? (1997: 293)

Selasa, 13 Juli 2010

Seri Nahwu : Isim Mabni (الاسم المبنيّ) & Isim Mu'rab (الاسم المعرب )
Bagikan
Hari ini jam 11:10
Isim ditinjau dari i'rob dan bina' (bisa atau tidaknya berubah pada huruf/harokat terakhirnya) dibagi menjadi dua, yaitu isim mabni dan isim mu'rob.

1. Isim Mabni ( الاسم المبنيّ )

Isim mabni adalah isim yang harokat / huruf terakhirnya TIDAK dapat berubah walaupun kedudukannya berubah di dalam kalimat.

Misalnya : kata هَذِهِ (haadzihi = ini), di dalam kalimat tidak akan pernah mengalami perubahan harokat/ huruf di akhir katanya, jadi selalu هَذِهِ (haadzihi)


Macam-macam isim mabni terdiri dari :

* Isim Dhomir ( اسم الضمير ) = Kata ganti

Contoh :
هُوَ ، هُمَا ، هُمْ ، هِيَ ، هُمَا ، هُنَّ ، أَنْتَ ، أنتما ، أَنْتُمْ ، أنتِ ، أنتما ، أَنْتُنَّ ، أنا ، نَحْنُ


* Isim Isyaroh ( اسم الإشارة ) = Kata penunjuk

Contoh :
هَذَا، هَذَانِ، هؤلاء، هَذِهِ ، هَاتَانِ ، هؤلاء ، ذلك ، ذانك ، أُلئِكَ ، تِلْكَ ، تانك ، ألئك


* Isim Maushul ( الاسم الموصول ) = Kata sambung

Contoh :
الذي ، اللذان ، الذين ، التي ، اللّتان ، اللاتي


* Isim Syarat ( اسم الشرط ) = Kata syarat

Contoh :
مَنْ – مَتَى - مَا


* Isim Istifham ( اسم الاستفهام ) = Kata tanya

Contoh :
مَاذَا ، كَيْفَ ، أَيْنَ ، مَنْ ، لِمَاذَا ، مَتَي ، هَلْ



2. Isim Mu'rob

Isim mu'rob adalah isim yang harokat / huruf terakhirnya dapat berubah dengan berubahnya kedudukannya di dalam kalimat.

Misalnya: kalimat الرَجُل (ar-rajul = seorang laki-laki) di dalam kalimat bisa berakhiran dhommah (ar-rajulu), atau berakhiran fathah (ar-rajula), atau berakhiran kasroh (ar-rajuli).


Perubahan akhir kata ini bergantung pada kedudukannya (sebagai subjek, objek, mubtada', khobar, dll) di dalam kalimat, atau sesuai dengan i'robnya.

Macam-macam isim mu'rob terdiri dari :

* Isim mufrod ( الاسم المفرد )
* Isim mutsanna ( الاسم المثني )
* Jama' mudzakkar salim ( جمع مذكر سالم )
* Jama' muannats salim ( جمع مؤنث سالم )
* Jama' taksir ( جمع التكسير )
* Isim maqshur ( الاسم المقصور )
* Isim manqush ( الاسم المنقوص )
* Isim ghoiru munshorif ( اسم غير منصرف )
* Asma-ul khomsah ( الأسماء الخمسة )


Berikut adalah tabel tanda-tanda i'rob untuk masing-masing isim mu'rob :


Keterangan :

Pada tabel di atas, terdapat empat kolom.

* kolom pertama :
--> menunjukkan jenis-jenis isim mu'rob yang terdiri dari isim mufrod, isim maqshur, manqush, dst
* kolom kedua :
--> menerangkan tanda rofa' dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.
* kolom ketiga :
--> menerangkan tanda nashob dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.
* kolom keempat :
--> menerangkan tanda jarr dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.



Misalnya : Isim mutsanna
Pada tabel di atas:
Tanda rofa'nya adalah dengan alif (ا), contohnya مُسلماَنِ (muslimaani)
Tanda nashob-nya adalah dengan ya' (ي), contohnya مُسلمَيْنِِ (muslimaini)
Tanda jar-nya adalah dengan ya' (ي) juga sama dengan tanda nashobnya, contohnya مُسلمَيْنِِ (muslimaini).



Contoh penerapannya di dalam kalimat pada isim mutsanna tersebut:

* Kalimat جاَءَ مُسلمَانِ (jaa-a Muslimaani) = Dua orang muslim telah datang.

Kenapa مُسلمَانِ (muslimaani) ? Karena kedudukan "Dua orang muslim" itu sebagai subjek (yang datang adalah dua orang muslim). Secara kaidah, bahwa subjek (fa'il) ber-i'rob rofa', dan karena ber-i'rob rofa' maka tandanya dengan alif (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَانِ (muslimaani).



* Kalimat رأيتُ مُسلمَينِ (ro-aitu Muslimaini) = Saya melihat dua orang muslim itu.

Kenapa مُسلمَيْنِ (muslimaani) ? Karena kedudukan "Dua orang muslim" itu sebagai objek (yang dilihat adalah dua orang muslim). Secara kaidah, bahwa objek ber-i'rob nashob', dan karena ber-i'rob nashob maka tandanya dengan ya' (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَيْنِ (muslimaini).



* Kalimat مَرَرتُ بِمُسلمَينِ (marortu bi muslimaini) = Saya berpapasan dengan dua orang muslim.

Kenapa مُسلمَيْنِ (muslimaini) ? Karena kata "Muslimaini" itu diawali dengan huruf jar (yaitu bi). Secara kaidah, bahwa setiap kata yang didahului oleh huruf jar adalah ber-i'rob jar (atau khofadh), dan karena ia ber-i'rob jar maka tandanya dengan ya' (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَيْنِ (muslimaini).



Jadi, tidak semua tanda rofa' itu dhommah, tidak semua tanda nashob itu fathah, dan tidak semua tanda jar itu kasroh. Tanda-tanda asli itu hanya berlaku pada isim mufrod dan jama' taksir saja (coba lihat pada tabel di atas). Ada sebagian isim yang mirip dengan tanda asli tersebut seperti isim jama' muannats salim dan isim ghoiru munshorif. Hafalkanlah tabel di atas dengan cara Anda.

Materi lain :

* Pengenalan Ilmu Nahwu (النحو) & Shorof (الصرف)
* Seri Nahwu : I'ROB (الإعراب)
* Seri Nahwu : Isim Marfu’ (مرفوع), Manshub (منصوب) & Majrur (مجرور)

Rabu, 07 Juli 2010

~hukum - hukum seputar ibadah shaum dan qodho'nya~

Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.

Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1] Untuk kasus orang sakit misalnya. Di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Berikut ada beberapa permasalah seputar qodho’ puasa yang akan kami angkat ke tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga bermanfaat. Allahumma yassir wa a’in.[2]

Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa

Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu:

Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa.

Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.

Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.

Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[3]

Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan menyusui apakah mesti ada qodho’ puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti mengqodho’ puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada pula yang mengatakan cukup mengqodho’ puasa saja tanpa fidyah. Yang lain lagi mengatakan cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya, pembahasan mengenai puasa bagi wanita hamil dan menyusui butuh penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq dan ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus mengqodho’. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu’ (sabda Nabi) sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul. Namun, kami tetap menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan ini dan mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.

Dosa Besar Karena Sengaja Tidak Berpuasa Ramadhan

Di bulan Ramadhan, di antara kaum muslimin malah ada yang enak-enakan tidak berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar, namun mereka tidak berpuasa karena malas-malasan. Mereka tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) sama sekali.

Perlu diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa Ramadhan semacam ini termasuk dosa besar dan akan mendapatkan siksa sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut.

Abu Umamah Al Bahili menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan menolongmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung dan tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, ”Suara apa itu?” Mereka menjawab, ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian aku dibawa berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[4]

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[5]. Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[6]

Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya setelah kita mengetahui dosa akibat meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[7]

Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas:

أن العبادة المؤقتة بوقت إذا أخرجها الإنسان عن وقتها بلا عذر فإنها لا تنفع ولا تجزيء

“Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”

Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh:

Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.

Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[8]

Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”

Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.

Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[9]

Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[10]

Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[11]

Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.

Catatan:

Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai hadits marfu’ (sabda Nabi),

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ

“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya.” Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Mas’ud, maka hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun hadits tersebut dho’if, namun kita dapat melihat permasalahan orang yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia memiliki keharusan untuk mengqodho’nya. Sebagaimana seseorang yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats, tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk mengqodho’ shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho’ puasanya.

Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, “Orang yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho’ puasa atau shalat yang sengaja ia tinggalkan.” Namun yang lebih tepat, orang yang meninggalkan shalat atau puasa dengan sengaja tidak ada qodho’ baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya tidaklah bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban kewajiban. Dia tidak diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak bermanfaat baginya.”[12]

Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda

Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban.

Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[13]

Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[14]

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan Berikutnya

Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.

Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.”[15]

Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah, [2] mengqodho’ puasa, dan [3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa

Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”[16]

Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa

Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih sampai tiga pendapat.

Pendapat pertama: Tidak dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Inilah pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, pendapat Imam Malik, dan pendapat yang nampak pada madzhab Syafi’i. Di antara dalil mereka adalah firman Allah,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Jadi amalan puasa orang lain tidak bermanfaat bagi orang yang sudah mati.

Dalil yang lainnya adalah hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[17]

Pendapat kedua: Dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[18] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[19].

Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ – قَالَ – فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”[20] Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar.

Pendapat ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak untuk qodho’ puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan Al Laits.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua yaitu bagi orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa (baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang akan membayar qodho’ puasanya. Alasan pendapat kedua lebih kuat adalah,

1. Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa amalan yang dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang yang sudah mati di antaranya adalah amalan puasa.
2. Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus kecuali dari tiga perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan mayit dan bukan yang dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang lain untuk si mayit.
3. Puasa yang boleh diqodho’ oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya puasa nadzar saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan. Alasannya, hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas tidaklah saling bertentangan. Hadits ‘Aisyah memang bersifat umum yaitu membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.

Ibnu Hajar mengatakan,

فَحَدِيث اِبْن عَبَّاس صُورَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ سَأَلَ عَنْهَا مَنْ وَقَعَتْ لَهُ ، وَأَمَّا حَدِيث عَائِشَة فَهُوَ تَقْرِيرُ قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ

“Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”[21]

Kesimpulan: Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia tidak terlepas dari tiga kemungkinan:

1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal dunia dan dia tidak mampu membayar qodho’ puasa, untuk orang semacam ini tidak perlu dibayar qodho’ puasanya.
2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk membayar qodho’ puasa, namun dia tidak menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum ditunaikan, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.

Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[22]

Demikian pembahasan kami mengenai qodho’ Ramadhan. Semoga Allah selalu memberikan kita kepahaman dalam mempelajari agama ini. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

***

Diselesaikan pada hari Jum’at, 28 Ramadhan 1430 H, saat mudik di Kampung Ori – Maluku Tengah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com/

[1] Lihat Roudhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy, 1/58, Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh, cetakan kedua, 1399 H.

[2] Mayoritas pembahasan Qodho’ Ramadhan kali ini, penulis sarikan dari pembahasan Shahih Fiqih Sunnah, karangan Abu Malik, jilid kedua, ketika membahas qodho’ Ramadhan, di samping itu beberapa point adalah tambahan dari penulis sendiri.

[3] HR. Muslim no. 335

[4] HR. An Nasa’i dalam Al Kubra, sanadnya shahih. Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 25

[5] Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam beberapa penjelasan beliau.

[6] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/434, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah

[7] Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya.

[8] HR. Muslim no. 1718

[9] Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68, Asy Syamilah

[10] Idem

[11] Fatawa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah

[12] Jilsaatu Romadhoniyyah, 2/71, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyyah.

[13] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146

[14] Fathul Bari, 6/209, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[15] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347, Mawqi’ Al Ifta’

[16] Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih

[17] HR. Muslim no. 1631

[18] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147

[19] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

[20] HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148

[21] Fathul Bari, 6/212, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[22] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

http://www.rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2752-membayar-utang-qodho-puasa-ramadhan.html

http://adivictoria1924.wordpress.com/2010/07/07/hukum-hukum-seputar-qadho-shaum-ramadhan/

http://halqoh-online.com/hukum-hukum-seputar-qodho%E2%80%99-shaum-ramadhan/


Adi Victoria



al_ikhwan1924@yahoo.com
al_ikhwan1924@halqoh-online.com

Jumat, 18 Juni 2010

HUKUM ARAH KIBLAT

Hukum Arah Kiblat

Tanya :

Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser? Sahkah shalat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu? (Sukiyono, Pekanbaru)

Jawab :

Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,”Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang].” (Maratibul Ijma’, hal. 11).

Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),”Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,”Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,”Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang].” (Fathul Bari, 1/501).

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,”Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,“Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait).” (Al-Umm, 1/114).

Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).

Dalilnya sabda Nabi SAW,”Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shan’ani menjelaskan,”Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah.” (Subulus Salam, 1/134).

Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu a’lam. (KH Siddiq Al Jawie)