Selasa, 09 November 2010

Adab Menyambut Tamu

Adab Menyambut Tamu; Refleksi Kunjungan Obama Ke Jakarta

Oleh Fathuddin Ja’far

Sungguh merupakan keagungan Islam bahwa ajaran dan sistemnya mencakup semua aspek kehidupan, sejak dari sistem keimanan (akidah), ibadah, syari’ah (berbagai peraturan dan perundang-undangan), mu’amalah (ekonomi dan bisnis), akhlak , budaya, seni, hubungan internasional, sampai tata cara masuk toilet dan menyambut tamu.

Menyambut tamu, dalam Islam adalah bagian dari keimanan seperti yang disabdakan Rasul Saw. dalam sebuah hadits yang berasal dari sahabat Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi Saw. bersabda, “...Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaklah ia memuliakan tamu.” (HR. Imam Muslim)
Jauh sebelum kunjungan Barrack Hussein Obama, Presiden Amerika Serikat ke Jakarta hari ini (9/11), telah terjadi polemik di kalangan kaum Muslimin sendiri. Paling tidak ada dua pendapat yang berseberangan. Pertama, yang menolak kehadiran Obama karena dianggap terlibat dalam penghancuran berbagai negeri Muslim khususnya Palestina, Irak, Pakistan dan Afganistan. Kedua, yang menerima kehadiran Obama dengan tangan terbuka dan penuh persahabatan dengan alasan sebagai tamu yang harus dihormati, tanpa harus melihat siapapun mereka, kendati penjagal kaum Muslimin dan penjarah negeri mereka sekalipun. Alasannya ialah menghormati tamu itu adalah bagian dari ajaran Rasul Saw. dan diteruskan kemudian oleh berbagai pemimpin besar Islam sesudah Beliau seperti Sholahuddin Al-Ayaubi dan sebagainya.
Dari dua pendapat tersebut, manakah yang lebih mendekati kebenaran, kalaupun belum dikatakan mana yang benar dan mana yang salah. Suatu hal yang menyulitkan kita memberikan penilaian di Indonesia ialah bahwa kebanyakan masyarakat, bakan para ulama dan kaum terdidiknya belum terbiasa menilai mana yg benar dan mana yang salah, mana yang kuat dan mana yang lemah, mana yang lurus dan mana yang menyimpang. Bahkan dalam banyak kasus, yang sudah jelas-jelas benar berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah saja belum berani mengatakannya benar dan begitu juga sebaliknya.
Sebab itu, dalam proses pembelajaaran berani berkata benar dan berani pula mengaku salah jika ternyata tidak benar dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya, maka tulisan ini mencoba melakukan suatu pendekatan yang bersifat argumentatif dan nalar yang didasari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Bukan didasari kepentingan politik tertentu atau penafsiran-penafsiran ajaran Islam yang tidak berdasar. Kalau tidak, hanya akan menjadi sebuah polemik yang mandul atau debat kusir yang tidak akan mebuahkan selain kebodohan dan semakin jauh dari pandangan Allah dan Rasul-Nya.
Pendapat pertama (menolak kehadiran Obama ke Jakata) didasari sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa Obama, sebagai Presiden AS, telah dengan nyata meneruskan permusuhan politik luar negerinya terhadap kaum Muslimin yang melawan kepentingan politik, ekonomi dan ideologi AS di negeri-negeri Muslim, khususnya di Palestina, Irak, Pakistan dan Afghanistan.
Lebih dari itu, Obama terlibat dengan perintah policy militernya dalam pembumihanguskan negeri-negeri Muslim tersebut secara langsung. Photo copy kebijakan politik dan kemanan Obama terhadap kebijakan politik dan keamanan Presiden AS sebelumnya, George Bush merupakan bukti yang tak terbantahkan.
Kelompok ini melihata tak ada yang berubah dari seorang Obama, kendati ia pernah sekolah SD di Jakarta, ibu kota salah satu negeri Muslim terbesar di dunia, bahkan ia sebenarnya berasal dari keturuan Muslim Afrika. Dukungan penuh terhadap Yahudi yang mencaplok Palestina sejak 60 tahun lebih tetap ia jalankan.
Isu dan operasi terorisme terhadap kelompok Muslim Mujahidin yang melawan kepentingan ekspansi dan dominasi AS di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia melalui tangan Densus 88 tetap asaja ia gulirkan. Hegemoni ekonomi, pendidikan, budaya dan poltik terhadap negeri-negeri Islam tetap menjadi kebijakanya sebagai Presiden AS yang sedang berkuasa.
Lalu timbul pertayaan; apa masih pantas seorang Obama diterima kehadiranya hanya karena alasan menghormati tamu atau etika pergaulan internasional? Sebab itu, kelompok pertama menolak dengan keras dan bahkan sejak kemarin sesudah melakukan demonstrasi menolak kehadiran Obama ke Jakarta, karena akan menambang sakit dan perinya hati kaum Muslimin di negeri yang berpenduduk 240 juta jiwa ini yang mayoritasnya adalam Muslim.
Mereka tidak melihat adanya negosiasi yang setara atau dengan kata lain win-win solution. Para petinggi dan penguasa negeri ini, baik yang di eksekutif maupun yang dilegislatif hanya akan manut-manut saja terhadap semua pendiktean yang dilakukan Obama. Memang demikianlah karakter orang yang kalah.
Lain pula halnya dengan kelompok kedua yang menerima kehadiran Obama dengan kedua tangan yang terbuka sebagai seorang tamu yang harus dihormati dan taat akan etika pergaulan internasional. Mereka ini mayoritasnya, kalau tidak dikatakan semuanya, sedang bertengger di atap kekuasaan Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan uniknya lagi, sebagian kalangan ulama dari MUI pun sepaham pula dengan pendapat yang kedua ini. Seakan lengkaplah sudah legitimasi yang mereka miliki karena mendapat dukungan pula dari sebagian kalangan ualama, paling tidak yang menamakan dirinya ulama.
Jika memuliakan tamu itu adalah ajaran Islam yang merupakan cabang keimanan, seperti yang dijelaskan Rasul Saw. dalam hadits di atas, maka beberapa pertanyaannya kemudian adalah: 1). Bagaimana adab menyambut seorang tamu itu? 2) Apakah ada perbedaan menyambut tamu Muslim dengan non Muslim? 3) Bagaimana pula kalau tamu tersebut adalah seorang tokoh pemimpin besar non Muslim yang sedang memerangi kamum Muslimin dan meluluhlantahkan beberbagai negeri Muslim?
Terkait pertanyaan ke-1 ialah bahwa di antara adab menyambut tamu ialah memuliakannya, memberinya makan, minum dan semua keperluannya. Namun demikian, bukan berarti setiap tamu seenaknya saja datang dan bertandang serta setiap kedatangannya harus diterima dengan tangan terbuka. Shahibul bait, disamping memiliki kewajiban memuliakan tamu, namun dalam waktu yang bersamaan ia diberi Allah kebebasan untuk menerima atau menolaknya seperti yang dijelaskan Allah dalam surat An-nur ayat 28 & 29. Karena Allah Maha Tahu bahwa tidak semua shahibul bait itu dalam keadaan siap menerima tamu dan bisa saja memberatkannya baik secara materil maupun immaterial.
Inilah adab bertamu dengan sesama Muslim. Lalu bagaimana dengan tamu yang non Muslim? Apakah ada perbedaannya? Orang yang belajar sedikit Islam pastilah dapat menjawabnya bahwa pasti ada perbedaan antara tamu yang Muslim dengan yang non Muslim. Terhadap yang Muslim, shahibul bait memiliki dua kewajiban, yakni kewajiban sebagai Muslim dan kewajiban sebagai tamu. Tentulah perlakuannya sangat istimewa. Adapaun terhadap tamu yang non Muslim, shohibul bait hanya memiliki satu kewajiban, yakni sebagai tamu saja. Tentulah perlakuannya berbeda. Bila hal dipahami dengan baik, maka petanyaan ke-2 terjawab dengan mudah.
Namun, bagaimana jika tamu itu sebagai tokoh atau pemimpin non Muslim yang sedang berlumuran darah jutaan kaum Muslimin seperti Obama dan terlibat sampai detik ini dalam penghancuran negeri, ekonomi, politik, budaya dan peradaban kaum Muslimin di hampir seluruh penjuru dunia Islam?
Untuk menjawab pertanyaan di atas sebenarnya tidak sulit. Jawabannya dapat melalui pertanyaan berikut: Apakah Obama sebagai tokoh non Muslim dan Presiden AS terlibat secara langsung melakukan penghancuran negeri Islam, pembunuhan kaum Muslimin melalui pasukan bersenjata AS dan pasukan multinasional yang dikoordinirnya, dukungan langsung terhadap kaum Yahudi yang sedang menjajah Palestina serta permusuhannya terhadap Mujahidin Palestina seperti HAMAS dan sebagainya. Kalau jawabannya tidak terlibat, berarti masalahnya mudah dan dapat diselesaikan dengan mudah pula, yakni kita boleh menerimanya sebagai tamu dan boleh tidak, sama halnya dengan adab bertamu yang diberlakukan terhadap sesama Muslim.
Namun, bagaimana jika Obama terlibat secara langsung? Di sinilah letak persoalannya. Kelompok pertama meyakini betul keterlibatan tersebut dengan fakta yang nyata bagaikan matahari di siang bolong. Tidak ada yang memungkirinya kecuali orang buta. Sedangkan kelompok kedua, hanya melihat dari satu sisi Obama sebagai tamu, bukan sebagai bagian dari “a-immatul kufr", tokoh kekufuran yang sedang memerangi kaum Mislimin dengan segala kekuatan yang dimilikinya dan bahkan memobolisasi kekuatan bangsa-bangsa lain di dunia.
Jika Obama sebagai tokoh non Muslim dan pemimpin mereka yang sedang memerangi kaum Muslim, maka jawaban pertanyaan ke-3 di atas adalah salah satu dari tiga cara:
  1. Tidak menerima kunjungnya dengan alasan hanya akan melukai hati kaum Muslimin yang masih hidup cahaya keimanan mereka. Hal ini sah-sah saja, karena terhadap Muslim atau non Muslim saja, kita diberi Allah kesempatan untuk menyuruh pulang tamu yang berkunjung ke rumah kita, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nur tersebut sebelumnya.
  2. Memberinya kesempatan berkunjung sebagai tamu. Menghormatinya dengan cara mendengarkan apa saja yang dia ingin sampaikan termasuk intimidasi sekalipun, jika ada. Setelah itu, shohibul bait menyampaikan pula pesan dan keinginannya seperti yang dilakukan Rasul Saw. terhadap Utbah Bin Rabi’ah.

    Sebagai seorang tokoh masyarakatnya, Utbah ingin sekali bertamu kepada Rasulullah karena melihat kegigihan Rasul menyebarkan Islam yang tak mungkin dibendung lagi. Utbah ingin bernegosiasi dengan Rasul dengan cara persuasif, dengan tawaran (sogok) kepemimpinan, menjadi raja, atau harta, atau pelayanan kesehatan VVIP. (karena mereka ada yang menuduh Rasul Saw. sakit jiwa). Setelah mendengar dengan serius tawaran-tawaran tersebut, Rasul Saw. berkata: Apakah Anda sudah selesai bicara Abal Walid? Ia menjawab: sudah mahwan anak-anak pamanku. Lalu Rasul Saw. berkata: Bismillahirrohmanirrohim… kemudian meneruskan ucapannya sambil membaca ayat surat Fush-shilat dari ayat 1–4. Kemudian Rasulullah saw. meneruskan sampai ayat sujud dan Beliaupun melakukan sujud tilawah. Setelah itu Rasul berkata: Apakah anda sudah mendengarkannya wahai Abal Walid? Sekarang terserah Anda. Mendengar ayat dan ungkapan Rausl tersebut, muka Utbah berubah pucat pasi karena terpengaruh oleh mukjizat Al-Qur’an dan perkataan Rasul saw yang begitu jelas mengajaknya beriman dan masuk Islam.
  3. Kalau hal yang kedua tersebut tidak bisa dilakukan, karena posisi pemimpin dan ulama di Indonesia masih dalam keadaan lemah dan belum berani mendakwahkan Islam kepada para tokoh atau pemimpin non Muslim yang sedang memerangi Islam dan kaum Muslimin masih ada pilihan yang ketiga yang lebih ringan yakni mendoakan mereka, khususnya Barrack Obama masuk Islam seperti yang dilakukan Rasul Saw. terhadap dua tokoh besar Quraisy, yakni Umar Ibnu Hisyam dan Umar Ibnul Khattab. Ternyata Allah kabulkan Umar Ibnul Khattab, lalu beliau menjadi pemimpin besar Islam sepanjang sejarah. Ini adalah kesempatan emas mempraktekkan salah satau uslub (metode) dakwah Rasul saw, selain memuliakan tamu yang diinginkan kelompok kedua.

    Kalau perlu kumpulkan satu juta umat Islam di masjid Istiqlal dan saat Obama berkunjung kesana semuanya membaca doa yang dipimpin oleh tokoh Muslim seperti Ust. Muhammad Arifin Ilham: Allahumma a’izil Islam bi Obama. Yaa Allah, muliakanlah Islam ini melalui Obama. Kendati kami tinggal di negeri mayoritas Muslim dan terbesar jumlahnya di dunia dan telah memeluk Islam berabad-abad lamnya, serta ulama dan pemimpin kami masih belum merasakan kemuliaan Islam, Engkau Maha Tahu, boleh jadi Islam Ini mulia di tangan Obama, ketimbang kami hina terus sepanjang sejarah Islam di negeri ini.
Demkianlah sekelumit pandangan mengenai kunjungan Obama ke Indonseia. Pertanyaannya ialah: Dari tiga kemungkinan tersebut, yang mana yang dipilih umat Islam dan pemimpin mereka di Indonesia ? Kalau hal pertama dan kedua tidak berani dilakukan, sebenarnya yang ringan tapi berbobot adalah yang ketiga; mendoakannya agar masuk Islam. Kalau tidak berani juga, tunggulah Allah yang akan bersikap sesuai dengan sunnah yang telah ditimpakan-Nya atas umat-umat terdahulu. Wama dzalika alallahi bi’aziz (Bagi Allah mudah saja).

Tidak ada komentar: