Kamis, 23 Desember 2010

~BUNUH DIRI, Takdirkah?~

Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.

Dalam hadist di atas, dijelaskan bahwa perkara Ajal adalah perkara yang telah Allah tetapkan waktunya. Tidak bisa dimajukan, ataupun dimundurkan. Perkara ini adalah perkara yang qath’iy. Bahkan didalam al qur’an, hal ini banyak dijelaskan oleh Allah swt. Diantaranya adalah :

Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Lantas timbul pertanyaan, lha… kalau begitu bagaimana dengan orang yang bunuh diri? Apakah aktivas tersebut merupakan suatu yang telah Allah tetapkan?

Untuk menjawab persoalan itu,maka haruslah cermat dalam melihat relitasnya. Bukan hanya secara bahasa saja, sehingga ditafsirkan apa yang di lihat.

Pertama, kita harus membahas dulu tentang hakikat takdir dan kematian itu sendiri. Keduanya tidaklah boleh dicampuradukan. Yang kedua barulah kita menyoal perkara kematian/bunuh diri tersebut.

Kematian/ajal

Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan mematikan. Allah SWT berfirman:

وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).

Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).

Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia. Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut untuk mencabut ruh dari jasad (QS as-Sajdah [32]: 11).

Takdir

Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu ( Al-‘Allim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi kelak. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di lauhul mahfudz (kitab induk dan gambaran umum akan luasnya ilmu Allah SWT).

Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Quran dan hadist Rasulullah SAW. Dengan kata lain taqdir  adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan “segala sesuatu” yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatan, makhluk hidup lain, dan lain-lainnya, semuanya telah tercatat / diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di lauhul mahfudz.

Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu malaikat Jibril datang kepada Muhammad SAW dan bertanya :

 “coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rasulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kiamat, dan percaya kepada taqdir baik dan taqdir buruknya berasal sadi allah SWT.” (Hadist Muslim).

Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasibseseorang di dunia ini maupun di akherat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb.

Pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan ilmu Allah dan kekhususan bagiNya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-Allim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahuiNya.

Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, janganlah mencampur-adukkan antar “iman kepada taqdir” tersebut dengan “amal perbuatan manusia, Karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu.
Rasulullah SAW telah melarang para sahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkab manusia tidak mau berusaha. Harus difahami bahwa ada perbedaan antara : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan.

Telah diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Ali bin abi Thalib ra. Yang artinya :

“Rasulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para sahabatnya). Ditangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggore-gores tanah. Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (syurga) dan jahanam”. Para sahabat terkejut lalu bertanya : “kalau demikian ya Rasulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh allah jalan yang sudah ditentukan baginya,” lalu Rasulullah membaca surat Al lail ayat 5-10”. (syarah shahih muslim, imam Nawawi, juz XVI, hal 196-197).


Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah telah selesai menuliskan takdir semua makhluk, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” Beliau menambahkan, “Dan arsy Allah itu berada di atas air.” (HR. Muslim no. 4797)

Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)

Perlu difahami bahwa apa yang telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) tidaklah menunjukan bahwa Allah swt telah memaksa dalam perbuatan seorang hamba. Tidaklah demikian tafsirnya.melainkan hanya menunjukan bahwa betapa maha luasnya ilmu Allah tersebut. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Allah swt tidaklah zalim terhadap hamba-Nya.

Allah swt berfirman,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)

Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)

Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.

Allah telah memberikan pilihan bagi manusia untuk berbuat. Apakah dia berbuat baik atau jahat (melanggar perintah dan larangan Allah). Dan perbuatan itu yang nantinya akan di hisab. Sama dengan konteks bunuh diri.

Tidak bisa dikatakan kepada orang yang telah meninggal karena bunuh diri dengan perkataan , “semua adalah takdir Allah”.

Karena tak ada seorangpun manusia yang tahu apa yang telah tertulis bagi dirinya di lauhul mahfudz. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seorang yang berkata : “saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di lauhul mahfudz harus berbuat begini”. Karena darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan itu baginya di lauhul mahfudz???

Adanya catatan di lauhul mahfudz bahwa si fulan bin fulan meninggal dalam keadaan bunuh diri tidak bisa dijadikan dasar, karena sekali lagi, adanya catatan di lauhul mahfudz itu tidaklah bisa dikatakan bahwa Allah telah menetapkan perbuatan itu tanpa kecuali sehingga manusia cukup berdiam diri saja. Jelas tidak benar! Para ‘ulama sepakat bahwa apa yang tertulis di lauhul mahfudz itu hanya menunjukan betapa maha luasnya ilmu Allah terhadap apa-apa yang telah Dia ciptakan, baik alam semesta, manusia dan kehidupan.

Apalagi banyak hadist-hadist yang mengharamkan bunuh diri itu sendiri.

“Pernah ada seseorang yang terluka, kemudian dia membunuh dirinya. Maka, Allah pun berfirman: ‘Hamba-Ku telah meminta kepada-Ku menyegerakan (kematian) dirinya, maka Aku haramkan surga untuknya.’” (Hr. Bukhari)

Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi itu selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam nanti ia akan terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan menjatuhkan (dirinya) selama-lamanya.” (HR. Muslim, 109)

Timbul pertanyaan lagi, jika kematian atau ajal telah ditetapkan, bagaimana dengan hadist-hadist yang menceritakan tentang bertambahnya umur manusia?

Seperti bunyi pada hadist :

Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).

Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Karena secara qath’iy jelas kematian/ajal tidaklah bisa ditunda, diundur, atau dimajukan, yang bertambah tidak lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya.

Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).

Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas maka akan di dapat kesimpulan :
1.      Semua yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi kesemunya telah tertulis di kitab lauhul mahfudz.

2.      Kitab lauhul Mahfudz hanya menunjukan betapa maha luasanya keilmuan Allah, yang tidak memaksa atas apa yang tertulis didalamnya terhadap perbuatan hamba.

3.      Perkara datangnya ajal/kematian adalah perkara yang pasti. Namun, Allah akan menghisab sebab-sebab kematian itu, apakah karena bunuh diri atau karena sebab lain. Dan sebab-sebab kematian yang itu terjadi di luar kuasa manusia maka Allah tidak akan menghisabnya, seperti meninggal tertimpa batu, jatuh dari pohon, kecelakaan, dan lain-lain yang kesmuanya itu diluar dari kuasa manusia untuk memilih apakah akan dilakukan ataukah tidak dilakukan.

Wallahu A’lam. []

Tidak ada komentar: