Jumat, 12 November 2010

diskusi hizbiyin dan ikhwan

~TANGGAPAN TULISAN “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir” yang ditulis oleh Shinichi Kudo on Thursday, November 11, 2010~

oleh Adi Victory pada 12 November 2010 jam 17:54
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah, segala puji Allah, tuhan semesta alam (al kauniy) manusia (al insan) dan kehidupan (al hayah), serta Dia yang mengatur interaksi daripada ketiganya tadi. Allah, tuhan yang telah menurunkan syari’at Islam melalui Rasulullah SAW yang ditujukan untuk mengatur manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan penciptanya. Inilah kesempurnaa Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideology atau mabda’iy. Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sIstem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia.

Firman Allah Swt: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89) Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.

Keharusan mengikuti syariat Islam, terutama jejak langkah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw, telah ditegaskan oleh firman Allah Swt: قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي “Katakanlah, ‘Inilah jalan (dakwah)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata..” (TQS. Yusuf [12]: 108)


Ayat ini menunjukkan bahwa jalan Rasulullah saw telah benar-benar tegas dan nyata. Masalahnya tinggal, apakah kita hendak mengikuti jalan beliau saw atau tidak.

Salawat dalam salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita nabi Allah, Rasulullah, Muhammad Saw. Suri tauladan kita, panutan kita/uswah kita, pemimpin para nabi, pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Kemuliaan juga semoga selalu tercurah kepada orang-orang yang tetap istiqomah dan istimror dalam rangka berdakwahkan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah mabda’ atau aturan hidup, yang menjadikan Islam sebagai landasan berfikirnya (qiyadah fikriyah) yang menjadikan hokum syara’ sebagai tolak ukur dalam perbuatannya dan sekaligus sebagai sumber hukumnya.

Saudaraku akhina Shinichi Kudo yang dirahmati oleh Allah, saya telah membaca tulisan antum yang cukup panjang itu, subhanallah….. rupanya sangat ingin sekali niat antum ingin membuat karya ilmiah terhadap gerakan dakwah hizbut tahrir dengan judul “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir”. Insya Allah, saya akan menjawab tulisan antum tersebut sebagaimana yang antum minta jawaban dalam bentuk sebuah artikel, dan saya mohon maaf kiranya artikel yang saya buat ini tidak sepanjang artikel yang telah antum buat tersebut di link ini . http://www.facebook.com/profile.php?id=100001232733553#!/note.php?note_id=454274473110&id=1473637286

Baiklah, agar tidak terlalu bertele-tele maka saya akan mencoba mengurai tiap artikel yang antum buat kemudian akan saya tanggapi.

Bismillah…

Pada bagian pertama antum tuliskan : Perdebatan seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan perdebatan panjang yang saya kira tak akan pernah berujung pangkal. hal ini karena kalangan yag menolak demokrasi, seperti gerakan Hizbut Tahrir, memandang demokrasi dalam perpesktif perlawanan. Selain aksioma “kedaulatan di tangan Rakyat” yg menjadi doktrin demokrasi, HT juga memandang demokrasi dalam perpektif sejarah dimana demokrasi lahir dari rahim dunia Barat yang tidak Islami, maka meniru, mengaplikasikan, atau menerima demokrasi, hukumnya Haram dalam pandangan Hizbut Tahrir. sengaja saya tulis “dalam pandangan Hizbut Tahrir” karena harus diakui, sekali lagi harus diakui, ada banyak ulama masyhur yg tidak sependapat dengan pandangan HT ini.

Komentar : saya kira titik persoalannya adalah ketidaktahuan antum tentang apa itu demokrasi, sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya. Benarkah hanya hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa mengadopsi ide demokrasi adalah haram?

Saudaraku yang dirahmati oleh Allah, dalam Islam, kita diajarkan bagaimana menghukumi sebuah fakta. Sebelum kita ingin menghumi sebuah fakta, apakah fakta itu mau dihukumi dengan hokum syara’ berupa halal, haram, makruh, sunnah atau mubah,maka harus terlebih dahulu dilakukan kajian terhjadap fakta yang ingin dihukumi tersebut. Para ‘ulama fiqih menyebutnya dengan istilah tahqiqul manath. atau proses identifikasi atau penelaahan terhadap fakta.
Karena kita sedang berbicara seputar fakta tentang demokrasi, maka pertama kita harus membedah apa itu demokrasi. Dan ketika kita ingin membedah demokrasi, maka semua hal yang terkaitt dengn demokrasi haruslah dikeluarkan dari isi perutnya,jadi tidak ada fakta-fakta yang tersembunyi di dalam perut demokrasi tersebut.

Dalam membahas demokrasi, maka kita harus membelah faham tersebut secara utuh, seridaknya ada 5 hal yang harus di kaji atau di urai dalam faham demokrasi, yakni
1. Asal-usul demokrasi,
2. Aqidah demokrasi,
3. Ide dasar demokrasi,
4. Standar demokrasi (yaitu mayoritas),dan
5. Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.

Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Terkait asal ushul demokrasi maka kita akan menemukan bahwa demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi adalah ide yang muncul dari akal manusia yang lemah, serba kurang dan serba terbatas. Dari segi aqidah, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sebuah aqidah yang mengambil jalan tengah ketika terjadi konflik antara kaum gerejawan dan kaum bangsawan, kaum bangsawan menolak hak gereja secara absoulut yang ikut campur dalam urusan pemerintahan, akhirnya diambilah jalan tengah yakni yang terkenal dengan kalimat, ”berikanlah hak kaisar untuk kaisar (bangsawan) dan hak tuhan untuk tuhan (kaum gerejawan), maka lahirlah faham sekulerisme.

Dari segi ide, demokrasi berlandaskan dua ide :
1. Kedaulatan di tangan rakyat.
2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.

Ini jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam memang kekuasaan berada di tangan umat/rakyat, yang mana nanti dengan kekuasaan itu umat memilih seorang khalifah untuk mengatur umat itu sendiri, sedangkan perkara kedaulatan bukanlah ditangan umat/rakyat, melainkan berada ditangan Allah sang khalik yang memilki otoritas tunggal dalam rangka membuat hukum-hukum. Intinya kedaulatan di dalam Islam berada pada syara’.

Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Rasulullah saw bersabda : مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman : إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini adalah prinsip dasar demokrasi, yakni terletak pada suara mayoritas. Sedang dalam Islam, tidaklah demikian.

Rinciannya adalah sebagai berikut :

1. Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
2. Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
3. Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

Dalam demokrasi, ada empat macam kebebasan, yaitu :
1. Kebebasan beragama (freedom of religion)
2. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
3. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
4. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).

Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya.
Allah SWT berfirman : فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)

Inilah penjelasan secara kaffah terkait ide atau faham demokrasi yang benar-benar merujuk pada fakta dan kemudian fakta tersebut dihukumi dengan dalil-dalil yang terkait, sebagaimana proses tahqiqul manath dalam hal menghukumi sebuah fakta. Kemudian, benarkah hanya ‘ulama hizbut tahrir yang mengharamkan ide ini? Benarkah? Mari kita lihat.

Ulama-ulama Islam yang mengkritik demokrasi antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :

”Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris. Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.

Antum kenal Abul A’la Al-Maududi ?, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Beliau menolak mentah-mentah ide demokrasi, Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi .

Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan… Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.” Walaupun dikemudian hari beliau membuat konsep demokrasi yang dicoba untuk disesuaikan dengan Islam, yang kita kenal dengan istilah theo-demokrasi atau demokrasiketuhanan. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.

Namun, pendapat beliau tersebut juga telah dibantah oleh kalangan ‘ulama lain. Imam syaikh taqiyudin telah membantah penggunaan istilah ini. Istilah ini adalah istilah barat yang coba dimasukan kedalam islam.

Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)

“Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”. Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir, ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islami .

Lalu bagaimana dengan ‘ulama lain? Antum kenal Ali Belhaj? Salah satu ‘ulama gerakan Islam FIS (Front Islamic du Salut) pengarang buku Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah . di dalam buku itu dengan sangat jelas beliau menggambarkan ide kufur demokrasi. Beliau mengatakab bahwa STANDAR KEBENARAN DEMOKRASI : SUARA MAYORITAS padahal di dalam Islam Kebenaran Tidak Ditentukan Oleh Banyaknya Pelakunya, Tetapi Oleh Dalil-Dalil Syar’i. Kemudian ada Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”

Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.” Utsman Khalil, meskipun telah menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah (Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi.

Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”

‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy telah mengatakan dalam kitabnya Syura Laa Ad-Dimuqrathiyah halaman 103 :
“Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya (Al-Qur`an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS.Huud [11] : 17)

Selanjutnya ‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy berkata :
“Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut kaum muslimin. Juga, ukuran kebenaran bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki manhaj rabbani, satunya-satunya pelindung bagi manusia walau dalam keadaan berbeda dan saling silang pendapat.”
Dari sinilah, maka para shalaf ash-shaleh tatkala menafsirkan kata al-jama’ah –yang termaktub dalam hadits Nabi SAW– dengan makna konsisten (iltizaam) dalam kebenaran (al-haq) walau Anda seorang diri.

Abu Syamah berkata dalam kitabnya Al-Baa’its halaman 22 :
“Ketika datang perintah untuk menetapi jama’ah, yang dimaksud adalah tetap konsisten dalam kebenaran (al-haq) dan selalu mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh pada kebenaran sangat sedikit dan para penentangnya sangat banyak. Karena kebenaran (al-haq) itulah yang dipegang oleh jama’ah yang pertama, yaitu Rasulullah SAW dan para shahabat RA, tanpa melihat lagi banyaknya pengikut kebatilan.”

Bahkan, orang-orang kafir penganut ide demokrasi di dinegara asalnya sana saja tidak meyakini ide kedaulatan demokrasi bias diterapkan.

Benjamin Constan berkata :
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.

Barchmi berkata : “Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”

Dougey berkata :
”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”

Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”

Pertanyaan saya, apakah mereka adalah ‘ulama Hizbut Tahrir? Jawabnya jelas bukan!

Saudaraku Sinichi Kudao yang dirahmati oleh Allah, antum mengatakan bahwa kalangan tarbiyah misalnya memahami bahwa prinsip persamaan, kebebasan mengemukakan pendapat, konsep suara mayoritas, adalah bersesuaian dengan Islam. sehingga demokrasi, apabila dijalankan oleh kalangan yang taat kepada Tuhan, tak akan menghasilkan hukum yang bertentangan dengan Islam, bahkan demokrasi bisa dan sangat bisa, “dimanfaatkan” untuk melahirkan regulasi yang justru mencerminkan kedaulatan di tangan Allah. kalangan tarbiyah ini berpandangan bahwa suara terbanyak dalam sistem demokrasi, justru peluang utk menerjemahkan hukum Allah dalam ranah hukum positif. sebagai gerakan Islam, aktivis tarbiyah tentu tak akan membuat regulasi yang bertentangan dengan syariah, yg diperjuangkan justru sebaliknya.

Inilah kesalahan fatal yang dialami oleh teman-teman tarbiyah, salah dan keliru dalam menghukumi sebuah fakta, kesalahan ini kiranya terjadi mungkin karena proses penelaahan terhadap sebuah fakta yang tidak tepat, sehingga keliru dalam menerapkan hokum syara’nya.

Kebebasan mengemukakan pendapat, konsep suara mayoritas dikatakan sesuai dengan Islam, dari segi mana? Benar di dalam Islam boleh mengemukakan pendapat, namun bukan seperti konsep demokrasi, bahwa pendapat yang benar atau salah itu adalah hak daripada si penyeru pendapat itu, haq dan bathilnya tidak dikembalikan kepada aspek ahkam as syari’ah namun aspek menurut kacamata kebenaran dan kacamata salah menurut manusia. Akibatnya, sah-sah saja jika Ahmadiyah mau berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, karena itu adalah kebebasan berpendapat dia.

Inilah paradox demokrasi! Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya.

Allah SWT berfirman : فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)

Saudaraku Sinichi Kudao yang dirahmati oleh Allah, antum menyinggung diskusi seputar jabat tangan antar Bapak Tifatul Sembiring dengan Isteri barrack Obama, sebenarnya saya secara pribadi tidak terlalu memusingkan masalah itu. Karena perkara hokum berjabat tangan sendiri adalah perkara khilafiyyah di kalangan ‘ulama. Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab]. Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.

Qatadah berkata, “Barangsiapa TIDAK MENGETAHUI perselisihan ‘ulama, hidungnya BELUM mencium bau fiqih” (lihat dalam Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815)

Sebagaimana kita ketahui bahwa persoalan hukum berjabat tangan atau Mushafahah adalah perkara khilafiyah. Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya.
Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti.

Namun, persoalannya adalah sikap kita dalam memegang sebuah prinsip, terlebih lagi itu menyangkut hokum syara’. Benar jika dalam keadaan terpaksa,namun pertanyaannya apakah beliau terpaksa? Apakah kita tidak bercermin kepada presiden Iran Mahmod Ahmadinejad uyang tetap “kekeh” tidak menjabat tangan seorang pejabat wanita ketika dia mau disalami, apakah dengan sangat mudah dengan sikap tunduk, dan menyambut dengan dua tangan dari tangan Isteri Barrack Obama tersebut? Benar beliau telah mengklarifikasinya, namun apakah kita tidak melihat tayangan video bagaimana hal itu terjadi? Saya tidak akan memperdebatkan hal ini, karena bukan di sini yang mau saya perpanjang.
Kemudian terkait surat ijin atau masuknya HT sebagai ormas, maka Status perizinan tersebut bagi hizb tidak ada kaitannya sama sekali dengan ketundukan HT terhadap sistem, apalagi sampai masuk kategori musyarakah dengan sistem kufur. Di Indonesia, HTI terdaftar di Depdagri dengan nomor 44.D.III.2/6/2006. dimana dalam Surat Keterangan Terdaftar tersebut tertulis, bahwa HT “telah terdaftar sebagai ormas dan dalam melaksanakan kegiatannya agar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”

Undang-undang yang berlaku di Negara ini memang UUD1945, namun bukan berarti HT tunduk dan patuh pada UUD. Aktivitas dakwah yang HT lakukan tidak ada sama sekali yang mengindikasikan tunduk dan patuh kepada UU yang berlaku,kecuali kepada hal-hal administrasi saja, yang itu tidak terkait dengan hokum syara’, seperti syarat ijin menyelenggarakan aksi yang memakai fasilitas-fasilitas umum. Dalam UUD 1945 ada hal yang bertentangan dengan hokum syara’ namun juga ada yang tidak, dalam hal ini seperti perijinan yang itu tidak ada kaitannya dengan hukum syara’. Tidak ada satupun perundang-undangan dari system kufur yang dijalankan oleh Hizbut Tahrir hingga detik ini, kami tetap berpegang teguh kepada ahkam asyar’iyyah sebagai landasan dalam berbuat. Dan sampi saat ini pun pemerintah tidak membekukan aktivitas HT, padahal kami tetap konsisten dengan prinsip kami.

Saudaraku Sinichi Kudao yang dirahmati oleh Allah. Kemudian antum membahas isi pasal dari (RUU) Khilafah pasal 21 dikatakan: “Kaum Muslim berhak mendirikan partai politik untuk mengkritik penguasa; atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan syarat asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah hukum-hukum syara’. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Dan negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam.” pertanyaan yang kemudian antum munculkan adalah, “darimana Hizbut Tahrir mendapatkan ide dibolehkannya mendirikan partai politik dalam konsep Khilafah Islamiyah? adakah sejarah Khilafah ala minhajin nubuwah mencontohkan demikian? jika HT konsisten dengan prinsip “khilafah” nya, semestinya tidak ada sistem kepartaian dalam negara Khilafah.

Jawaban : memang, Partai politik tidak pernah didirikan oleh Rasulullah, sahabat dan generasi terbaik umat ini. Bahkan partai politik tidaklah kita temui dalam Al-Qur’an dan Al Hadist, kitab ulama salaf dan khalaf. Wacana partai politik baru ada awal abad dua puluh masehi. Ini jika dipemikiran antum bahwa partai politik itu adalah yang antum lihat dalam kondisi seperti sekarang ini, sebagaimana adanya banyak partai-partai,baik parti Islam, partai Islam terbuka, maupun partai nasionalis-sekluer, dan tentunya partai non Islam. Masalah partai dan masalah perkumpulan manusia lainnya juga bukanlah hal terlarang, sesuai kaidah syara’ , kullu asya’al ibahah illa ma warada ‘annis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syari’at yang melarangnya). Inilah kaidah dalam menyikapi perkembangan kehidupan dunia. Maka, datangkanlah satu saja dalil dari Al-Qur’an dan Al Hadist yang melarang keberadaannya. Selama belum ditemukan dalilnya, maka harus kembali ke hukum asal segala sesuatu (bara’atul ashliyah) yaitu boleh (mubah). Berbeda halnya dengan perkara ibadah khusus, yang kaidahnya justru hukumnya haram jika tidak memiliki landasan dari Al-Qur’an dan Al Hadist. Perlu antum fahami, bahwa Surat Ali Imran 104 itu adalah dalil tentang wajib adanya sebuah jama’ah, hizb/kelompok/partai di dalam Islam. Dan setahu saya, teman-teman dari tarbiyah pun menjadikan dalil itu sebagai dasar berdirinya IM atau PKS. Benar gak?

بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. [TQS Ali Imron (3):104]

Imam Ibnu Katsir menyatakan;

والمقصود من هذه الآية أن تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة بحسبه، كما ثبت في صحيح مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ”. وفي رواية: “وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

” “Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “ “مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ”. وفي رواية: “وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ” . “Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya.Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya.Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya”.Di dalam riwayat lain dituturkan, ”Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun”.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy]

Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”..yakni adanya jamaa’ah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah….”

Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, ”Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran”.
Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan jama’ah, thaifah, hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar. Frase ”minkum” pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim.Semua ini menunjukkan bahwa ”jama’ah” tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, BUKAN ORANG-ORANG KAFIR. Sebagaimana PKS menjadikan orang-orang kafir sebagai anggota partai mereka. padahal jelas sekali haram hukumnya menjadikan orang-orang diluar Islam sebagai bagian dari anggota partai. Syaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah berkata,”Kata “minkum” [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari keanggotaan non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada muslim saja.” (Lihat Abdul Hamid Al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120; lihat juga Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 64; M. Abdullah al-Mas’ari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 33).

banyak dalil menegaskan amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non muslim. Misalnya QS Ali ‘Imran : 110 dan QS At-Taubah : 71. Sebaliknya orang non Islam, khususnya Yahudi, tidak saling melarang berbuat munkar di antara mereka (QS Al-Ma`idah : 78-79), dan orang munafik bahkan menyuruh yang munkar dan mencegah dari yang ma’ruf (QS At-Taubah : 67).

Jadi amar ma’ruf dan nahi munkar tak akan mampu dilaksanakan sempurna, kecuali oleh umat Islam. Syaikh Ziyad Ghazzal menyatakan anggota partai Islam wajib orang muslim. Sebab misi partai Islam –yaitu amar ma’ruf nahi munkar— telah mengharuskan keislaman anggotanya. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 46). Memang ada yang berpendapat non muslim dapat menjadi anggota partai Islam, dengan alasan Islam agama untuk semua dan mengakui keberagaman (pluralitas). Namun dalil-dalil ini tidak sesuai dengan tema (maudhu’) yang dibahas.
Benar bahwa Islam agama untuk semua karena Islam rahmatan lil ‘alamin (QS al-Anbiya` : 107), atau Islam risalah untuk seluruh manusia (QS Saba` : 28). (Abdullah al-Jibrin, At-Ta’amul Ma’a Ghairil Muslimin fi As-Sunnah an-Nabawiyah, hal 3; Munqidz as-Saqqar, Ghairul Muslim fi al-Mujtama’ al-Muslim, hal. 2).

Namun konteks ayat-ayat tersebut adalah menerangkan karakter risalah Islam sebagai risalah universal, bukan menerangkan karakter partai atau kelompok Islam.

Benar pula Islam mengakui keberagaman suku dan bangsa (QS Al-Hujurat : 13), juga mengakui keberagaman dalam bahasa dan warna kulit (QS Ar-Ruum : 22). (Lathifah Ibrahim Khadhar, Al-Islam fi al-Fikri al-Gharbi (terj.), hal. 167).
Namun konteks ayat seperti ini adalah menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang menjadi sunnatullah di muka bumi, bukan menerangkan karakter partai Islam.

Ketika khilafah belum berdiri, maka fungsi dari sebuah gerakan dakwah/partai/kelompok tersebut adalah tetap focus pada 3 hal, sebagaimana yang tercantum di ayat 104 surat Ali Imron tersebut, yakni pertama adalah menyeru kepada al khair, para ‘ulama sepakat yang dimaksud dengan al khair itu adalah Islam. Kedua, yakni menyeru kepada aktivitas yang makruf, apa itu yang makruf? Adalah segala aktivitas yang Allah serukan untuk dikerjakan. Ketiga, melakukan aktivitas mencegah kemungkaran, apa itu kemungkaran? Adalah apa-apa yang Allah telah larang manusia untuk mengerjakannya. Karena faktanya kemakrufan dan kemungkaran itu ada yang bersifat individu,kelompok dan Negara, maka hizb berpendapat bahwa lebih efektif jika Negara yang melakukan aktivitas tersebut. Dan jika kelak khilafah sudah tegak, maka bukan berarti hizb/partai akan dibubarkan, tidak. Namun fungsi daripada kelompok/partai tadi adalah berubah, yakni menjadi wadah atau tempat untuk mengontrol setiap aktivitas para penguasa yang menjalankan kebiijakannya, dan juga berfungsi sebagai penyalur aspirasi terhadap orang-orang yang ingin duduk dipemerintahan daulah khilafah.
Jadi, ketika mengatakan bahwa sistem kepartaian jelas2 mengadopsi sistem dari Barat. karena sistem politik kepartaian tidak dikenal kecuali dari luar sistem khilafah adalah sebuah pendapat yang lahir dari ketidaktahuan akan partai itu sendiri. Termasuk ketidaktahuan akan fungsi partai politik Islam di dalam daulah khilafah Islamiyah.

Keberadaan partai politik Islam di dalam negara Khilafah Islamiyyah didirikan untuk melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara, terutama dalam penerapan syari’at Islam di dalam negeri, serta kebijakan-kebijakan luar negeri daulah Khilafah Islamiyyah. Jika khalifah melakukan penyimpangan-penyimpangan, maka partai politik Islam akan melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa. Bahkan ia akan mengerahkan kekuatan rakyat untuk melakukan koreksi atau muhasabah penguasa. Selain itu, partai politik Islam juga akan melakukan tugas-tugas utamanya, yakni mendidik kesadaran politik umat Islam.

Akan tetapi, parpol di dalam negara Khilafah tidak akan memerankan dirinya sebagai kekuatan oposisi yang akan selalu menentang kebijakan negara, atau sebaliknya ia akan mendukung seluruh kebijakan negara. Tidak demikian. Pada prinsipnya, parpol akan melakukan koreksi tatkala terlihat ada penyimpangan. Sebaliknya, ia harus mendukung kebijakan-kebijakan negara yang sejalan dengan syari’at Islam. Tidak seperti konsepsi parpol dalam sistem demokratik, dimana parpol dibelah menjadi dua kekuatan yakni, parpol yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah (partai penguasa), dan partai oposisi yang terus menyerang kebijakan pemerintahan.

Adapun, parpol Islam dalam sistem Khilafah Islamiyyah memang tidak menonjol perannya, bahkan hamnpir-hampir tidak ada satupun data sejarah menunjukkan keberadaannya sejak masa Khulafaur Rasyidin, hingga tahun Khilfah Utsmaniyyah tahun 1924. Yang dimaksud dengan parpol di sini adalah parpol sebagaimana yang ada sekarang. Ini bisa dimengerti karena rakyat sudah terbiasa dan akrab dengan tradisi “muhasabah terhadap penguasa”. Selain itu, taraf pemahaman dan kesadaran mereka terhadap Islam relatif lebih tinggi, mereka tidak berkehendak mendirikan sebuah parpol, atau gerakan dakwah sebagaimana parpol dan harakah yang ada saat ini. Namun demikian, sejarah telah mencatat, munculnya gerakan-gerakan yang aktivitasnya mirip dengan parpol, misalnya munculnya sekelompok shahabat yang menentang pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib, misalnya kelompoknya ‘Aisyah ra, gerakan Khawarij yang menentang Ali ra. Gerakan Husain bin ‘Ali yang ingin menggulingkan kekuasaan Yazid dan sebagainya. Fragmen sejarah ini menunjukkan, bahwa kaum muslim sejak masa shahabat sudah terbiasa dengan aktivitas dakwah berkelompok untuk mengoreksi penguasa yang dzalim dan fasiq.

Saudaraku Sinichi Kudo yang dirahmati oleh Allah. Kemudian antum mencoba membahas seputar pengangkatan khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan kemudian antum bandingkan dengan system kekhilafahan pasca khufaurRasyidin yang seolah seperti system monarki/kerajaan. Sebenarnya ini bukanhlah hal yang baru, kalangan liberal juga mempertanyakan hal ini. Dan Alhamdulillah, seandainya antum sering ikut forum-forum yang HT adakan di kota antum, maka antum akan mendapati penjelasannya, saran ana, silahkan antum hadiri baik forum JM (Jalzah Munakh), KIA (Kajian Islam Aktual) dan forum2 daurah lain yang bias antum dapati informasnya di lembar bulletin Al Islam yang terbit setiap jum’at. Mari kita kembali ke topic seputar system monarki yang antum maksudkan. Disini saya akan memuat penjelasan dari amir hizbut tahrir al ‘alamah as syaikh Atha’ Abu Rusythah dalam menanggapi hal tersebut.

Kerajaankah Pemerintahan Pasca Khulafaur Rasyidin?

Soal:

Ada sebagian orang menuduh Muawiyah telah mengubah sistem Khilafah menjadi kerajaan (monarki). Bagaimana sebenarnya kita mendudukkan masalah ini?
Jawab:

Sebagian orang berkesimpulan seperti itu karena ada isyarat yang dinyatakan dalam hadis riwayat Ahmad:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ e وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ e فِي الأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ.

An-Nu’man bin Basyir berkata: Kami pernah duduk-duduk di dalam masjid bersama Rasulullah saw., kemudian Basyir menahan pembacaan hadisnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hapal hadis Rasulullah saw. berkenaan dengan Umara’. (para pemimpin)?” Kemudian Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau.” Abu Tsa’labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung Kekhilafahan menurut sistem Kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas (diktator) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan berelangsung kembali Kekahalifahan menurut sistem Kenabian. Kemudian beliau berhenti.’”

Dari pernyataan Nabi saw. yang menyatakan akan adanya mulkan ‘addhan (kerajaan yang bengis), mereka berkesimpulan, bahwa periode ini berlangsung sejak Muawiyah berkuasa. Hadis ini pula yang dijadikan sebagai justifikasi, bahwa Muawiyahlah yang mengubah sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan (monarchi). Pertanyaannya, apakah memang benar demikian? Tentu tidak demikian. Sebab, apa yang dinyatakan dalam hadis-hadis tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan status Khilafah tetap sebagai sistem pemerintahan hingga akhir Kekhilafahan Utsmani. Muawiyah sendiri dibaiat untuk menduduki jabatan khalifah sebagaimana khalifah yang lain. Meski tetap tidak bisa dipungkiri, bahwa peristiwa Perang Shiffin, hingga naiknya Muawiyyah adalah fase abnormal, karena status pemerintahannya merupakan hukm at-tasalluth (pemerintah yang diperoleh melalui kudeta). Dari segi fakta, bahwa ini merupakan kesalahan, jelas. Karenanya, pada fase ini, status pemerintahannya tidak sah, memang benar.

Namun, setelah peristiwa ‘Am al-Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi), yaitu ketika Sayidina Hasan bin Ali ra. menyatakan mundur dari jabatannya sebagai khalifah pada 25 Rabiul Awwal 41 H, atau 6 bulan setelah wafatnya Imam Ali kw., maka status hukumnya berbeda. Peristiwa ‘Am al-Jama’ah adalah peristiwa saat Sayidina Hasan menyerahkan kekuasaan (Khilafah) kepada Muawiyah. Dengan begitu terjadilah rekonsialisasi (ishlah) dan kekuasaan Muawiyah yang asalnya tidak sah pun akhirnya menjadi sah. Setelah peristiwa itu, Muawiyah secara resmi menjadi khalifah kaum Muslim yang kelima, yang dibaiat dengan baiat yang sah, yaitu bi ar-ridha wa al-ikhtiyar (dengan sukarela).

Karena itu, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyimpulkan, bahwa Muawiyah adalah khalifah yang dibaiat sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq. Demikian juga penunjukkan yang dilakukan oleh Muawiyah kepada anaknya, Yazid, menurut beliau, sebenarnya sama dengan penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar. Meski tidak sama persis, keduanya sama-sama melakukan penunjukan. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh para khalifah setelahnya, yaitu melakukan penunjukan putra mahkota, kemudian setelahnya dibaiat.

Bedanya, mekanisme dan tatacara penunjukan dan baiatnya tidak tepat. Abu Bakar menunjuk Umar bukan karena faktor kekerabatan, tetapi karena, dalam pandangan Khalifah Abu Bakar, beliaulah orang yang paling layak dan tepat untuk memimpin kaum Muslim. Setelah itu, beliau pun menyampaikan pandangan beliau kepada kaum Muslim. Baru kemudian beliau ditunjuk setelah mayoritas kaum Muslim setuju dengan pandangan beliau. Dengan begitu, status penunjukan beliau kepada Umar ini sama dengan praktik pencalonan dan pemilihan. Setelah itu, mereka pun dibiarkan memilih dan membaiat Umar dengan sukarela, tidak ada paksaan dari siapapun.

Namun, Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota, sedangkan para khalifah setelahnya menunjuk kerabatnya sebagai putra mahkota. Pada saat yang sama, Yazid pun mengambil baiat dari kaum Muslim bukan dengan sukarela, melainkan dengan kekuatan senjata dan paksaan, sehingga disebut oleh ahli sejarah dengan bai’at bi as-sayf wa al-mal (baiat yang diambil dengan pedang dan uang). Tidak sedikit Khalifah setelahnya mengambil baiat untuk diri mereka sendiri dengan kekuatan kekuasaan yang dimilikinya.

Karena itu, jika pertanyaannya, apakah sistem ini masih layak disebut sistem Khilafah? Jawabanya, tetap layak, karena tidak ada yang berubah dalam sistem tersebut. Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia; pelaksana sistem tersebut adalah manusia, bukan malaikat. Karena itu, negara Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan dawlah uluhiyyah (negara teokrasi), yakni para penguasanya adalah manusia, bukan malaikat, bukan wakil tuhan atau dalam bahasa kekaisaran disebut titisan dewa. Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam sepanjang sejarah Islam tetap merupakan sistem Khilafah. Itulah fakta hukum dan sejarah yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Adapun apa yang dituduhkan oleh kaum kafir penjajah yang bekerjasama dengan para orientalis, bahwa sistem Khilafah itu telah berakhir pada zaman Sayidina Ali, itu menunjukkan ketidakpahaman mereka tentang fakta sistem pemerintahan Islam yang sesungguhnya. Celakanya, ada orang yang diklaim sebagai intelektual Muslim berpandangan dangkal seperti mereka. [Pandangan ini tertuang dalam nasyrah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir pada awal dekade tujuh puluhan, ketika al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masih menjadi Amir Hizb, sebelum beliau wafat pada tahun 1977 M].

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga tanggapan saya akan artikel yang antum uraikan tersebut. Silahkan antum tanggapi kembali.

Saudaramu,



Adi Victoria
Al_ikhwan1924@yahoo.com
http://adivictoria1924.wordpress.com/2010/11/12/bantahan-tulisan-%E2%80%9Cparadoks-pemikiran-politik-hizbut-tahrir%E2%80%9D-yang-ditulis-oleh-shinichi-kudo-on-thursday-november-11-2010-at-218pm/

Refrensi :
1. Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr : Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha(Demokrasi adalah sistem kufur, adalah haram hukumnya mengadopsi, menerapkan, dan mempropagandakannya)
2. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair)
3. Situs khilafah1924.org seputar penjelasan kritik terhadap konsep theo-demokrasi
4. Situs hizbut-tahrir.or.id seputar nasyrah
5. Situs konsultasi.wordpress.com seputar fungsi parpol Islam di dalam Negara khilafah.

Tidak ada komentar: