Selasa, 14 Desember 2010

Perkataan-Perkataan Ulama Tentang Wajibnya Menegakan Khilafah

Oleh: Musthafa A Murtadlo

Ta’rif Imamah dan Khilafah
  1. Ta’rif lughawi.
Imamul lughah Al-Fairus Abadi dalam Qamus Al-muhith menjelaskan sebagai berikut:[1]
الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدمهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) .

“Secara bahasa Imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah yang memimpin mereka. Yaitu imamah. Sedangkan imamah adalah setiap yang menjadi pembimbing di dalamnya baik pemimpin maupun yang lain”.

Imam Ibnu Mandzur berkata:[2]
الإمام كل من ائتم به قوم كانوا على الصراط المستقيم أو كانوا ضالين .. والجمع : أئمة ، وإمام كل شيء قيَّمه والمصلح له ، والقرآن إمام المسلمين ، وسيدنا محمد رسول الله إمام الأئمة ، والخليفة إمام الرعية ، وأممت القوم في الصلاة إمامة ، وائتم به : اقتدي به .

“Imam adalah setiap orang yang membimbing suatu kaum baik menuju jalan yang lurus maupun sesat… jama’nya adalah “a’immah”. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang mereform dirinya, (maka) Al-qur’an adalah imam bagi kaum Muslim. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai imam. Dan (makna) I’tamma bihi: memberi contoh di dalamnya”.
Sedangkan pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-allamah Muhammad Murtadlo Az-zubaidi menyatakan:[3]
( والإمام : الطريق الواسع ، وبه فُسِّر قوله تعالى : وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79( أي : بطريق يُؤم ، أي : يقصد فيتميز قال : ( والخليفة إمام الرعية ، قال أبو بكر : يقال فلان إمام القوم معناه : هو المتقدم عليهم ، ويكون الإمام رئيسًا كقولك : إمام المسلمين ) ، قال : ( والدليل : إمام السفر ، والحادي : إمام الإبل ، وإن كان وراءها لأنه الهادي لها .. ) أ . هـ .

“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:
وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79(
Maksudnya pada jalan yang “yu’ammu”. artinya (jalan) yang dituju sehingga bisa dispesifikasikan. (orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya dia orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Maka imam itu adalah kepala, sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum muslim. Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar, dan penghalau (unta) adalah imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta…”
Dalam Ash-shihhah Al-jauhari berkata[4]:
( الأمُّ بالفتح القصد ، يقال : أَمّه وأممه وتأممه إذا قصده )

“Al-‘ammu, dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa ta’ammamahu apabila tujuannya padanya”. Dan seterusnya.
Dari semua diskripsi yang disampaikan oleh para Ulama’ terkemuka di bidang bahasa diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian imam, imamah kurang lebih sama.
Sedangkan pengertian khilafah secara bahasa Imam al-Qalqasandi berkata[5]:
ان الخلافة فى الاصل (مصدر خلف, يقال: خلفه فى قومه, يخلفه خلافة, فهو خليفة, ومنه قوله تعالى: وقال موسى لاخيه هارون اخلفني فى قومي (الاعراف: 142)
“Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, (artinya) dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Ta’ala:

“Dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku…” (TQS Al-a’raf: 142)
Imam Al-hafidz Ibn Jarir Ath-thabari berkata[6]:
قيل سلطان الاعظام: الخليفة, لانه خلف الذي كان قبله, فقام بالامر مقامه, فكان عنه خلفا. يقال منه: خلف الخليفة, يخلف خلافة, وخليفا..

“Sulthanul a’dzam (penguasa yang agung) disebut khalifah, karena dia menggantikan yang sebelumnya. Dia menempati posisi (yang sebelumnya) dalam memegang pemerintahan. Maka dia itu baginya adalah pengganti. Juga dikatakan: dia menggantikan khalifah, dia menggantikannya sebagai khilafah dan khalifah”
Al-allamah Ibn Mandzur menjelaskan:[7]
الخليفة الذي يستخلف ممن قبله. والجمع خلائف. جاؤا به على الاصل, مثل كريمة وكرائم. وهو الخليف, والجمع:

خلفاء. أما سيبويه, فقال خليفة وخلفاء, اه
“Khalifah itu adalah yang menganggantikan orang yang sebelumnya. Jama’nya adalah khala’if. Mereka (menghadirkan) jama’ tersebut pada pokok. Seperti kata “kariimah” dan “karaa’im”. Dan dia adalah pengganti, jama’nya adalah khulafah’. Adapun (Imam) Sibawaih menyatakan khalifah dan (jama’nya) khulafa’.
Dari diskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa makna khalifah secara bahasa adalah pengganti orang yang sebelumnya.
  1. Ta’rif syar’I imamah dan khilafah
Tentang Imamah Imam Al-mawardi Asy-syafi’I menyatakan:[8]
( الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به ) أ . هـ .
“Imamah itu obyeknya adalah khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”
Imam Al-haramain berkata:[9]
( الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ) أ . هـ .

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh. Kepemimpinan yang berkaitan dengan hal umum maupun khusus dalam tugas-tugas agama maupun dunia”.
Shahibul mawaqif menyatakan:[10]
( هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب إتباعه على كافة الأمة ) .

“Imamah adalah merupakan khilafah Rasul SAW dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya. Itulah sebagian penjelasan para Ulama’ tentang imamah”.
Pada bagian yang lain pengarang kitab Al-mawaqif menyatakan[11]:

قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Telah berkata sebagaian golongan dari ashab kami bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.
Tentang khilafah, Imam Ar-ramli menyatakan[12]:
الخليفة هو الامام الاعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi”
Syeikh Musthafa Shabri, syeikhul Islam khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:[13]

الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau”.
Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:

هى الولاية العامة على كافة الامة
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya untuk untuk umat secara keseluruhan”.
Dari paparan para Ulama’ diatas paling tidak ada dua hal yang bisa simpulkan. Pertama, para Ulama’ mendivinisikan Imamah dan khilafah dengan berbagai devinisi, serta dengan ungkapan yang berbeda antara satu dengan yang lain namun dari sisi maksud kurang lebih sama. Kedua, ketika mereka mendiskripsikan imamah dan khilafah mereka menunjuk pada obyek yang sama, atau dengan kata lain khilafah dan imamah al-udzma adalah sama.
Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Mahmud A majid Al-khalidiy, dalam tesis doktornya yang berjudul Qawa’idu Nidzamil Hukmi fii Al-islam. Beliau menegaskan bahwa Imam dan khalifah itu menunjuk pada obyek sama. Bahkan setelah mengkaji dan selanjutnya merangkum pendapat para ulama’ tentang imamah dan khilafah ini Dr Mahmud A Majid mengemukakan devinisi tentang imamah atau khilafah yang lebih konprehensif. Beliau menegaskan bahwa ta’rif khilafah adalah[14]:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لاقامة احكام الشرعى الاسلامي, وحمل الدعوة الاسلامية الى العالم
“Kepemimpinan yang sifatnya bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia”.
  1. At-taraaduf antara lafadz Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin.
Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji dalam tesis masternya di Univ Ummul Qura yang berjudul Imamatul Udzma inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah menyatakan:[15] “Bagi mereka yang malakukan eksplorasi secara seksama terhadap hadits-hadits tentang khilafah dan imamah akan mendapatkan fakta bahwa Rasulullah SAW, dan para shahabat, serta para Tabi’in, yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut, tidak membeda-bedakan lafadz khalifah dan imam. Bahkan setelah pengangkatan Sayidina Umar Ibn Al-khattab RA sebagai khalifah para shahabat malah menambahkan panggilan pada beliau dengan amirul Mukminin”.
Karena itulah para Ulama’ menjadikan kata Imam dan Khalifah sebagai kata yang sinonim yang menunjuk pada pengertian yang sama. Misalnya Imam Al-hafidz An-nawawi. Beliau menyatakan:[16]
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )

“(untuk) imam Boleh disebut khalifah, imam atau amirul Mukminin”.
Al-allamah Aburrahman Ibnu Khaldun berkata:[17]
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام ) أ . هـ

“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam”.
Sedangkan Ibnu Mandzur mendifiniskan bahwa Khilafah itu adalah Imarah[18]
Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Najib Al-muthi’I dalam takmilahnya terhadap kitab Al-majmu’ karya Imam An-nawawi. Beliau menegaskan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )

“Imamah, khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim”
Syeikh Muhammad abu Zahrah menegaskan:[19]
( المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى ، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي في إدارة شؤونهم ، وتسمى إمامة : لأن الخليفة كان يسمى إمامًا ، ولأن طاعته واجبة ، ولأن الناس كانوا يسيرون وراءه كما يصلون وراء من يؤمهم الصلاة )

“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan (selalu) seputar khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut Imam. Karena ta’at padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat dibelakang yang menjadi imam shalat mereka”.

Hukum Nashbul Imam Al-a’dzam atau Khalifah adalah Fardhu Kifayah
Pada point ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata[20]:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …

“…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah”.
Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan[21]:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ . هِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ الطَّلَبِ وَالْقَبُولِ وَعَقَّبَ الْبُغَاةِ لِكَوْنِ الْكِتَابِ عُقِدَ لَهُمْ وَالْإِمَامَةُ لَمْ تُذْكَرْ إلَّا تَبَعًا بِهَذَا ؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا …

“…(Pasal ) tentang syarat-syarat imam yang agung (khalifah) serta penjelasan metode-metode (pengangkatan) imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan”.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata[22]:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …

“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: "bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy". Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …”
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan[23]:
…احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ

“… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…”
Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata[24]:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”.
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan[25]:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…

“ …perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…”
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi berkata[26]:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…

“…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: "bahwa para imam itu adalah dari Quraisy". (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…”
Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan[27]:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ …

“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung dan penjelasan metode-metode in’iqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan…”
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu[28]:
… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …

“…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…”
Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi[29]:
… وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …

“ …dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…”
Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata[30]:
…وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ما لايتم الواجب الا به فهو واجب ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula)”.
Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata[31]:
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم … ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …
وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.

“…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …”
Selanjutnya Beliau berkata: “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib”.
Kemudian beliau menegaskan: “…Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas sekali”.
Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata[32]:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …

“… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…”
Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf[33]:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .

“…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….”
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata[34]:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…

“…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar…”.
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan[35]:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .

“…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar”.
Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi[36]:
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …

"ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib".
Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.
Pelaksaan Fardhu Kifayah.
Adalah suatu hal yang ma’lumun minad din bidz-dzarurah bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan[37]:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب
لهما
" masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya".
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan[38]:
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …

" Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata "aqaama", bukan "qaama"; dalam bahasa arab kata "aqaama" artinya adalah "ja’alahu yaqumu"[39]) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …".
Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan[40]:
… وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن
الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
" dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)".
Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.
Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan[41]:
باب الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.

"Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka tidak tahu"
Disini Shahibu Fathil Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.
Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata[42]:
باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا
عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة
"Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan, yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …"
Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah". Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang tidak diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
Kasatuan Imamah dan Khilafah
Di dalam kitab Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, ketika Imam Al-hafidz An-nawawi menjelaskan hadits dari Abu Hurairah ra[43]:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Beliau menjelaskan bahwa pengertian "tasusuhum al-anbiyaa’" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya)[44].
Selanjutnya Imam An-wawawi menegaskan[45]:
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء …
"Makna hadits ini adalah apabila terjadi bai’ah untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibai’ah) khalifah, maka bai’ah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai’ah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan bai’ah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan bai’ah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut bai’ah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap bai’ah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang (posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama’…"
Imam Abu Hayyan Al-andalusi berkata[46]:
… فنقول : الذي عليه أصحاب الحديث والسنة ، أن نصب الإمام فرض ، خلافاً لفرقة من الخوارج ، وهم أصحاب نجدة الحروري . زعموا أن الإمامة ليست بفرض ، وإنما على الناس إقامة كتاب الله وسنة رسوله ، ولا يحتاجون إلى إمام ، ولفرقة من الإباضية زعمت أن ذلك تطوع . واستناد فرضية نصب الإمام للشرع لا للعقل ، خلافاً للرافضة ، إذ أوجبت ذلك عقلاً…. ثم قال الامام ابى الحيان الاندلوسي : ولا ينعقد لإمامين في عصر واحد ، خلافاً للكرامية ، إذ أجازوا ذلك ، وزعموا أن علياً ومعاوية كانا إمامين في وقت واحد …
“…Kami nyatakan, dimana para ahli hadits dan sunnah juga berpendapat yang sama, bahwa mengangkat seorang imam itu fardhu, berbeda dengan Khawarij. Yaitu shahabat-shahabat Najdah Al-hururi. Mereka mengklaim bahwa imamah itu bukanlah suatu kewajiban, meski adalah kwajiban bagi manusia untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tersebut tidak membutuhkan imam. Sedangkan menurut firqah Ibadhiyyah mengklaim bahwa imamah itu adalah sunnah. Landasan kewajiban (adanya) imam adalah syara’, bukan akal. Ini berbeda dengan Rafidhah. Mereka berpendapat bahwa wajibnya imamah itu berdasarkan akal…”
Selanjutnya beliau, Imam Abu Hayyan Al-andalusi, menyatakan: “bahwa tidak (boleh) diangkat dua imam pada masa yang sama, ini berbeda dengan Karamiyyah. Mereka membolehkan hal tersebut…”

Allah SWT tidak akan Mentaklifkan sesuatu Melebihi Isthitha’ah Hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)
Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan[47]:
وقوله "لا يكلف الله نفسا إلا وسعها" أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
" … dan firman-Nya " لا يكلف الله نفسا إلا وسعها " adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya".
Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut[48]:
التكليف هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
"Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan".
Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan[49]:
{ لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال …
"لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa taklif itu tidak jatuh pada hal yang mustahil (dilakukan) …"
Dalam tafsir Lubab At-ta’wil fi Ma’ani At-tanzil yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Khazin dinukil riwayat jawaban Imam Sufyan ibn Uyainah ketika ditanya pengertian ayat diatas. Beliau berkata[50]:
قال : إلاّ يسرها ولم يكلفها فوق طاقتها وهذا قول حسن ، لأن الوسع ما دون الطاقة وقيل معناه أن الله تعالى لا يكلف نفساً إلاّ وسعها فلا يتعبدها بما لا تطيق .
"beliau berkata kecuali Allah akan memudahkannya dan Allah tidak mentaklifkannya melebihi kemampuannya dan ini adalah ungkapan yang bagus. Karena (kata) al-wus’u itu adalah apa yang tidak melebihi kemampuan".
"(Selanjutnya Imam Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar Asy-syaihi yang lebih dikenal dengan Al-khazin menjelaskan), juga dikatakan bahwa pengertian:
لا يكلف الله نفساً إلاّ وسعها
adalah bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mentaklifkan pada manusia kecuali dalam batas kemampuannya, maka Allah tidak memerintahkan manusia untuk beribadah dengan hal-hal yang di luar kemampuannya"
Para mufassir terkemuka diatas telah memaparkan secara gamblang pengertian Surah Al-baqarah ayat 286. Benar, bahwa Allah telah menegaskan bi nash ash-sharih bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya perkara yang diluar kemampuannya. Bahkan pada Surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthitha’ah kita. Allah berfirman:
فاتقوا الله ماستطعتم … (التغابن: 16)
Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan[51]:
وقوله تعالى "فاتقوا الله ما استطعتم" أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه"
" Dan firman-Nya Ta’ala: "فاتقوا الله ما استطعتم" maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: " apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … ".
Inilah yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, Seluruh kaum Muslimin.
Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syar’i, secara syar’i terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah atas kita. Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut.
Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syar’i berdosa. Wallahu a’lam bi ash-shawab wa huwa al- musta’an wa ‘ailihi al-ittikal.
Baca Juga:
  • Tanya Jawab Seputar Khilafah
  • Khilafah & Masa Depan Dunia
  • Khilafah, Wajib Ditegakkan Dan Perlu
  • Kekhilafahan Hanya 30 Tahun ?
  • Jejak Khilafah dan Syariat Islam Di Indonesia

[1] Al-fairuz Abadi, Al-qamusul Muhith, juz IV hal 78
[2] Imam Ibn Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan Al-arab, juz XII hal 24
[3] Muhammad Murtadlo Az-zubaidi, Tajul Arus min Jawahir Al-qamus, Juz VIII hal 193
[4]Imam Isma’il bin Hamad Al-jauhari, Taj Al-lughah wa Shihah Al-arabiyyah, Juz 5 hal 1865
[5] Imam Al-qalqasandi, Ma’atsirul Inafah fii Ma’alim al-Khilafah, juz I hal 8
[6] Imam Al-hafidz Ibnu Jarir Ath-thabari, Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, juz I hal 199
[7] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, point “khalafa”, juz I hal 882-883
[8] Imam Al-mawardi, Ali bin Muhammad, Al-ahkam As-sulthaniyyah, hal 5
[9] Imam Al-haramain, Abul Ma’ali Al-juwaini, Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-dzulam hal 15
[10] ‘Idhuddin Abdurrahman bin Ahmad Al-aiji, Al-mawaqif, juz III hal 574
[11] Idem, Juz III hal 578
[12]Imam Ar-ramli, Muhammad bin Ahmad bin hamzah, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-imam Asy-syafi’i, Juz 7 hal 289
[13] Asy-syeikh Musthafa Shabri, Mauqiful Aqli, wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV hal 262
[14] Prof Dr Mahmud A Majid Al-khalidi, Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal 225-230
[15]Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji, Imamatul Udzma inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal 32
[16] Syeikhul Islam Al-imam Al-hafidz Yahya bin Syaraf An-nawawi, Raudhah Ath-thalibin wa Umdah Al-muftin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy-syarbini, Mughnil Muhtaj, Juz IV hal 132
[17] Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-muqaddimah, hal 190
[18] Ibn Mandzur, Lisanul Arab, Juz IX hal 83
[19] Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I hal 21
[20] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433).
[21]Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj, juz 34 hal 159
[22] Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268
[23] Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233
[24]Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi’I An-naisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465
[25] Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asy-syarwani, juz 9 hal 74
[26] Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi, Hasyiyah Al-bajayrimi ala Al-khatib, juz 12 hal 393
[27] Hasyiyyah Al-bajayrimi ala Al-minhaj, juz 15 hal 66
[28] Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124
[29] Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-hanafi, Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406
[30] Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz 1 hal 221).
[31]Al-imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 1 hal 264-265
[32] Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii ‘Ulumil Kitab, juz 1 hal 204
[33] Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al-mardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Ma’rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459
[34] Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 21 hal. 61
[35]Al-allamah Asy-syeikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-suyuthi Ad-dimasyqi Al-hambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381
[36] Sayyid Husain Afandi, Al-husun Al-hamidiyyah, li Al-muhafadzah ala Al-aqa’id Al-islamiyyah, hal 189.
[37]Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Juz I hal 100
[38] Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh hal 82,
[39] Lihat Qamusul Maurid, bagian huruf "qaf"
[40] Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab Juz V Hal 128,
[41] Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, Juz IV hal 206
[42] Syeikh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Bantani al-Jawi, Nihayah Az-zain, hal 359
[43] Lihat Amirul Mukmukmin fii Al-hadits, Imam Muslim bin Al-hajjaj An-naisaburi, Shahih Muslim, juz IX hal 378 hadits nomor 3429
[44] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah An-nanawi ‘ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420
[45] Idem
[46] Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan Al-andalusi, Tafsirul Bahril Muhith, juz 1 hal 496
[47] Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I hal 737
[48] Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Juz III hal 429
[49] Al-Imam Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Juz I hal 316
[50] Imam Al-khazin, Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar, Asy-syaihi, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, Juz I hal 330
[51] Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz II hal 87

Tidak ada komentar: