Kamis, 22 Juli 2010

Ki Bagoes Hadikusumo ( 1890-1954)

Ki Bagoes Hadikoesoemo (1890-1954)
PEJUANG SYARIAH YANG DIKHIANATI
SOEKARNO

Di indonesia, ketika masa penjajahan kekaisaran majusi jepang (1942-1945) penduduk yang mayoritas muslim ini di paksa untuk seikerei yakni membungkuk (mirip ruku’) ke arah tokyo sambil memusatkan hati kepada Hirohito (1991-1989). Hirohito adalah kaisar Jepang yang di anggap sebagai keturunaan dewata yang katanya turun dari kayangan untuk kemakmuran manusia dalam lingkungan asia raya dan di beri gelar tenno heika (yang maha mulia kaisar).
Doktrin Fasisme Najusi Jepang tersebut di tanamkan pula pada seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Setiap jam tujuh pagi semua murit wajip melakukan seikerei. Tentu hal itu membuat berang setiap Muslim yang imannya tertancap kokoh dalam jiwanya.
Maka bangkit lah para ulama penentang arus kemusrikan itu termasuk Ki Bagoes Hadikoesoemo, ketua umum Muhammadiah saat itu. Ia berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan umat islam dan warga Muhammadiah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. ”seikerei terlarang bagi umat islam karena bertentangan dengan tauhid!” tegasnya.

Pemimpin Umat,
Ki Bagoes di lahirkan di kampung kauman yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 11 rabi’ul akhir 1038 H. Ia putra ke-3 dari 5 bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat agama islam di kraton Yogyakarta). Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagoes mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa kiai di kauman.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) di tambah mengaji dan besar di pesantren tradisional wonokromo, tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitap-kitap fikih antasauf akhirnya dia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat.
Secara formal, di sampang kegitan tabligh, Ki Bagoes pernah menjadi ketua majelis tabligh (1922), ketua majelis tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiah (1926), dan ketua PP Muhammadiah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan yang mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiah.
Ki Bagoes adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk mencontoh nabi Muhammad SAW yakni menginstutisionalisasikan islam. Bagi Ki Bagoes pelembagaan islam menjadi sangat penting untuk alasan –alasan idiologi, poliltis, dan juga intelektual.
Ki Bagoes juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya salah satu bukunya yanng ia tulis adalah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin.
Maka dalam rangka menegakkan hukum islam di Indonesia, di masa penjajahan kerajaan protestan belanda, ia dan bebera ulama lain nya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesteraden comisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum islam.
Akan tetapi Ki Bagoes di kecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang di dukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang di berlakukannnya hukum islam untuk kemudian di ganti dengan hukum adat melaluli penetapan ordonasi 1931.

Kekecewaannya ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu.

Namun ia tidak pata arang. Meskipun BPUPKI di buat oleh penjajah Jepang yang menunjuk pentolan nasionalis sekuler soekarno sebagai ketuanya, Ki Bagoes berusaha merealisasikan cita-citanya melalui badan itu. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang syari’ah dengan kelompok nasinalis sekuler dan kristen.

Pada 22 juni 1945, panitia 9 yang di bentuk BPUPKI menandatangani rancangan Undang-Undang Dasar Negara RI yang belakangan di sebut sebagai Piagam Jakarta. Meki telah di sahkan namun tetap menimbulkan kontropersi. Pihak islam belum puas. Begitu juga, pihak kristen di wakili Latuharharry sempat mmenyual rumusan tersebut.

Meski demikian perdebatan alot terus terjadi antara pejuang syari’h dan kelompok lainnya terutama terkait degan dasar negara dan formalisisi penerapan syari’ah islam. Ki Bagoes tentu saja di kubu islam yang menginginkan negara berdasarkan islam dan memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk menjalankan agamanya.

Sedangkan Soekarno berusaha menengahi denngan gaya kompromistis (baca:mencampurkan yang hak dan yang batil). Dalam rapat BPUPKI 11 juli 1945 Soekarno menyatakan,
“saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuann-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan di dasar kan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah di terima panitia ini”.
Pada rapat 14 Juli 1945, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya di coret. Jadi bunyinya hanya ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.
Karena Ki Bagoes menyadari Islam bukan saja mengajarkan ibadah Mahdhah yang hanya mengatur ritual kaum muslim saja tetapi merupakan ajaran yang sempurna yang mengatur negara dan masyrakat seperti yang telah di contohkan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW memimpin negara Madina dengan Syariah Islam padahal penduduknya Plural, disamping bermacam suku dari berbagai bangsa tetapi juga bermacam agama seperti Islam, Yahudi, Kristen dan penyembah berhala.
Pendapatnya pun ditolak kelompok Nasionalis Sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta anggota BPUPKI: “Sudahlah, hasil kompromi diantara dua pihak, sehingga dengan kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromi berdasar kepada memberi dan mengambi, geven dan nemen.”
Namun sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, dihapuslah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata) itu alih-alih hanya menghapus tiga kata terakhirnya saja seperti yang diusulkan Ki Bagoes.
Tujuh kata tersebut, dihapus dengan dalih golongan protestan dan katolik lebih suka berdiri dipulau republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan pun melobi kelompok Islam termasuk Ki Bagoes agar setuju kata tersebut diganti dengan yang Maha Esa.
Almarhum Husein Umar (Terakhir sebagai ketua umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapak Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD Darurat, UU Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk apa yang tuan-tuan dari golongan Islam Inginkan silahkan perjuangkan disitu,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti 6 bulan lagi. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah Tauhid maka tentramlah Hati Ki Bagoes. karena dalam pandangan Ki Bagoes hanya Islamlah agama Tauhid. Namun 6 bulan kemudian Soekarno tidak menepati Janji. Majelis Permusyawaratan rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah Proklamasi (1955). Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian. [dari berbagai sumber]

Tidak ada komentar: