Sabtu, 14 Mei 2016

Kesaksian Syabab Turki yang mencengankan

Disampaikan di hadapan pengadilan Ankara pada tanggal 28 Februari 2001)
Segala puji milik Allah pencipta semesta alam. Semoga salawat dan salam tercurah kepada makhluk termulia dan penghu
lu para rasul Muhammada SAW, para sahabatnya, tabiin, dan orang-orang yang menempuh jalannya untuk mendirikan Khilafah Rasyidah. Majelis Hakim yang terhormat,
Sesungguhnya tuduhan yang ditujukan kepada saya oleh penuntut umum berhubungan dengan Hizbut Tahrir, bahwasanya ia merupakan partai ilegal dan teroris. Penuntut umum mengajukan pengadilan terhadap diri saya sesuai undang-undang melawan terorisme.
Bahwasanya saya adalah anggota Hizbut Tahrir, itu benar. Saya tidak memungkiri hal itu, bahkan saya merasa bangga karenanya. Kenyataan saya sebagai anggota Hizbut Tahrir merupakan suatu kemuliaan bagi saya. Adapun Hizbut Tahrir sebagai partai ilegal dan partai teroris, hal itu merupakan tuduhan batil dan tidak benar. Saudara-saudara sekalian tidak memiliki satu bukti dan satu argumentasipun yang menunjukkan hal itu. Yang benar justru sebaliknya Hizbut Tahrir merupakan partai legal berdasarkan hukum Islam dan sangat jauh dari terorisme yang saudara-saudara tudingkan. Saya akan memaparkan kepada saudara-saudara sekalian apa-apa yang membuktitkan kebenaran hal itu.
Majelis Hakim yang terhormat.
Sesungguhnya Hizbut Tahrir merupakan partai politik yang ideologinya Islam, berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islamiyah melalui jalan Khilafah Rasyidah yang merupakan metode untuk mengeluarkan kaum muslimin dari kondisi buruk lagi terbelakang yang kini mereka alami. Juga, melepaskan mereka dari kehinaan dan menjadikan mereka membangun peradaban yang agung di atas peradaban lainnya. Sehingga mereka membangun peradaban yang luhur seperti masa lalu mereka yang gemilang, yang menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk umat manusia. Hizbut Tahrir berdiri dalam rangka menunaikan perintah Allah SWT di dalam surat al-Imran [3]: 104: Dan hendaknya ada diantara kalian sekelompok umat yang memnyeru kepada al-khoir (al-Islam), menyuruh kepada yang mekruf dan melarang dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]:104)
Ayat ini menegaskan urgensitas keberadaan partai politik Islam. sebab yang dimaksud dengan al-khair dalam ayat mulia tersebut adalah al-Islam, sementara amar makruf dan nahi mungkar bersifat umum mencakup terhadap penguasa dan rakyat. Aktivitas politik ini tegak diatas dasar Islam. Artinya, kelompok yang diwajibkan pembentukannya oleh Islam adalah partai politik yang berlandaskan ideologi Islam. Begitulah halnya dengan Hizbut Tahrir. Jadi partai tersebut wajib keberadaannya berdasarkan ayat tersebut. Bahkan, termasuk kewajiban yang amat mulia.
Ini ditinjau dari satu sisi. Adapun dari sisi lain sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk menghukumi dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Firman Allah SWT:Maka hukumilah diantara meraka dengan hukum Allah. (QS al-Maidah [5]:48) FirmanNya juga:Dan hukumilah diantara mereka dengan apa yang diturunkan Allah. . (QS al-Maidah [5]:49) FirmanNya lagi:Dan barang siapa tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu termasuk orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]:44) Sungguh ayat-ayat ini mewajibkan menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah. Dan hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan menegakkan Khilafah Rasyidah. Selain itu terdapat kaidah yang menyatakan:Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib ada pula.
Jadi menegakkan Khilafah itu fardlu. Karena hal itu tidak akan sempurna kecuali melalui jalan aktivitas kolektif yang bersifat politik, yakni adanya kelompok (kutlah) yang terorganisir berdasarkan Islam serta beraktivitas menegakkan Khilafah Rasyidah untuk menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka ini artinya berdirinya partai politik yang berlandaskan ideologi Islam serta beraktivitas untuk melanjutkan kehidupan Islam, melalui metode mendirikan Khilafah Rasyidah adalah wajib pula. Hal ini,seperti yang saya katakan di muka, merupakan realitas Hizbut Tahrir. Dalil-dalil qathi ini menjelaskan bahwa berdirinya Hizbut Tahrir merupakan pelaksanaan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslimin, bukan hanya kepada para anggota Hizbut Tahrir. Bahkan, wajib pula atas para anggota majelis hakim. Berdasarkan hal ini maka Hizbut Tahrir merupakan partai yang legal dari Pencipta alam semesta. Saudara-saudara sekalian mengatakan bahwa; saudara-saudara menghukumi bukan berdasarkan hukum Islam, melainkan dengan undang-undang produk manusia. Saudara-saudara juga mengkatagorikan partai yang bertentangan dengan undang-undang buatan saudara itu merupakan partai ilegal. Namun saya sebagai anggota Hizbut Tahrir mengatakan kepada saudara-saudara sekalian sesungguhnya undang-undang al-Khaliq berada diatas undang-undang kalian. Dan sesungguhnya hukum Allah itulah yang benar dan itulah yang sah. Sementara hukum manusia itu salah dan batil. Jadi hukum Allah berada diatas hukum manusia yang lemah lagi serba membutuhkan itu. Selain itu tolok ukur legal dan tidaknya suatu aktivitas adalah undang-undang Allah, bukan undang-undang yang dibuat oleh manusia.
Dengan demikian jelaslah sudah bagi saudara-saudara sekalian bahwa Hizbut Tahrir berdasarkan undang-undang Allah dan hukum-Nya merupakan partai legal.
Majelis Hakim yang terhormat.
Baru saja telah dijelaskan kepada anda sekalian bahwa Hizbut Tahrir merupakan partai yang legal, bukan partai ilegal. Sekarang akan saya jelaskan kepada saudara-saudara bahwa Hizbut Tahrir juga bukanlah partai teroris.
Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi metode (Thariqah) Rasulullah SAW dan berpegang teguh kepada metode ini di dalam mengembangkan dakwah, sejak diutusnya Rasulullah SAW di Makkah sampai beliau mendirikan negara di Madinah al-Munawaroh. Di Makkah, Rasulullah SAW tidak menggunakan aktivitas-aktivitas fisik apapun.
Sebaliknya beliau dalam dakwahnya membatasi diri pada pergolakan pemikiran (shiroul fikri) dan perjuangan politik (kifahus siyasi). Hizbut Tahrir berpegang teguh kepada metode ini, sehingga tidak melakukan aktivitas fisik ataupun teroris apapun seperti yang anda tuduhkan. Buku-bukunya terdapat pada saudara-saudara sekalian. Andaikan saudara-saudara belum memiliki, maka saudara-saudara dapat memintanya kepada lembaga intelegen. Buku-buku itu ada pada mereka saat mereka mengambilnya dari setiap syabab Hizbut Tahrir yang mereka ciduk. Bacalah buku-buku itu agar saudara-saudara tahu bagaimana Hizbut Tahrir beraktivitas. Apa metode yang dijalaninya. Dari sana saudara-saudara akan menemukan bahwa Hizbut Tahrir tidak melakukan aktivitas-aktivitas fisik pada tahapan dakwahnya dalam rangka mensuri tauladani Rasulullah SAW. Bacalah buku Daulah Islamiyah, buku Ta'rif Hizbut Tahrir, dan juga Manhaj Hizbut Tahrir fi taghyir, disana akan nampak bagi saudara-saudara secara gamblang bahwa apa yang saudara-saudara namakan terorisme itu jauh dari pemikiran Hizbut Tahrir dan metodenya. Demikian pula sesungguhnya Hizbut Tahrir juga melakukan aktivitas di banyak negeri Islam, bukan hanya di Turki. Hizbut Tahrir sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik, di tempat manapun. Sebaliknya, Hizbut Tahrir hanya membatasi diri pada aktivitas kepada pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
Sangat mungkin seseorang dapat menyodorkan banyak saksi yang memastikan dengan jelas bahwa Hizbut Tahrir tidak melakukan aktivitas-aktivitas fisik ataupun terorisme seperti yang saudara-saudara tuduhkan. Namun saya cukup menyodorkan dua argumentasi saja yang menunjukkan hal itu. Pertama, sesungguhnya umur para anggota Majelis Hakim yang saya lihat dihadapan saya mendekati umur Hizbut Tahrir. Saya bertanya kepada saudara-saudara, apakah kalian pernah mendengar atau pernah melihat bahwa Hizbut Tahrir melakukan suatu aktivitas fisik dan terorisme, baik di Turki ataupun di tempat-tempat lain yang menjadsi aktivitasnya? Saya merasa cukup saudara-saudara menyebutkan satu bukti saja tentang hal itu, apakah saudara-saudara punya? Kedua, di banyak negeri-negeri Islam kadang-kadang syabab Hizbut Tahrir menyodorkan diri untuk berjuang keras dan memperoleh siksaan yang pedih untuk mendapatkan mati syahid. Sekalipun demikian, Hizb sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik. Sekalipun pada saat para syababnya mampu melakukan hal itu. Mereka tidak takut selain kepada Allah, mereka mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Sungguh, faktor yang menghalangi mereka melakukan hal itu tidak lain adalah keterikatan mereka terhadap thariqah Rasulullah SAW di Makkah. Dimana dakwah Beliau hanyalah berbentuk pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
Sungguh, saya tidak mengatakan kepada saudara-saudara bahwa Hizb tidak melakukan aktivitas-aktivitas fisik karena sikap hipokrit (nifak), pengecut atau berharap saudara-saudara meringankan hukuman saya, tetapi metode Rasulullah SAW yang dipegang teguh oleh Hizbut Tahrir itulah yang melarang syabab Hizb melakukan aktivitas-aktivitas fisik itu. Saya tegaskan kepada saudara-saudara bahwa syabab Hizb memiliki kekuatan dan keberanian yang memungkinkan mereka melakukan aktivitas fisik yang paling berbahaya -andai saja metode Rasulullah SAW dalam mengemban dakwah di Makkah membolehkan hal tersebut-. Syabab Hizbut Tahrir selalu bersemangat terhadap setiap perkara yang mengantarkannya kepada keridlaan Allah.
Dari sini jelaslah bahwa Hizbut Tahrir tidak melakukan aktivitas-aktivitas fisik. Dan hal itu dilakukan dalam rangka mencontoh Rasulullah SAW selama dakwahnya di Makkah. Beliau menjalaninya melalui pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bukanlah partai teroris, bahkan sangat jauh dari terorisme yang saudara-saudara tudingkan.
Majelis Hakim yang terhormat,
Mengapa saya diadili saat ini? Apakah karena saya mentaati Allah dan memenuhi perintah-Nya? Apakah karena saya berupaya menegakkan khilafah rasyidah dan berjuang untuk menyatukan kaum muslimin setelah mereka terpecah belah, menjadikan mereka sebagai suatu kekuatan yang sangat diperhitungkan oleh berbagai umat dan bangsa, membebaskan mereka dari kezhaliman sistem kufur dan dominasi kaum kafir atas mereka, mengembalikan kekayaan alam dan harta mereka yang dieksploitasi oleh sistem kufur yang dimainkan oleh musuh-musuh dan para pengikut mereka? Apakah saudara-saudara mengadili saya karena saya melakukan hal tersebut? Apakah saudara-saudara mengadili saya dikarenakan saya melarang kaum kafir membuat pangkalan militer di negeri-negeri islam, saya melarang negeri-negeri islam menjadi pusat-pusat strategis yang digunakan kaum kafir demi kepentingan-kepentingan mereka? Atau, saudara-saudara mengadili saya karena saya hendak membebaskan kaum muslimin dari babi yang ditanamkan oleh Amerika, Inggris, Perancis dan negeri-negeri kafir lainnya yang bekerjasama dengan kaki tangan-kaki tangan pengkhianat dari penguasa negeri-negeri Islam; babi ini menjelma dalam bentuk 'negara' Yahudi di jantung dunia Islam, tempat Isra Rasulullah SAW dan kiblat pertama dari dua kiblat kaum muslimin? Apakah saudara-saudara mengadili saya karena saya menghendaki adanya institusi yang melindungi kaum muslimin dalam bentuk khilafah rasyidah?
Benar, saudara-saudara mengadili saya karena hal tersebut. Andai saja pengadilan ini di negeri-negeri kafir dan para hakimnya kaum kuffar yang mengaku sebagai orang kafir, maka persoalannya wajar, tidak ada keanehan. Sedangkan saya diadili oleh para hakim muslim, di negeri yang 99% penduduknya muslim, masa lalu mereka mengusung bendera khilafah dan mengemban risalah Islam untuk menunjuki dunia selama ratusan tahun, maka hal itu betul-betul merupakan perkara yang sangat aneh. Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin tentu tidak meridlainya.
Majelis Hakim yang terhormat,
Bagaimana mungkin partai-partai politik yang tegak di atas dasar pemikiran-pemikiran kufur baik sekularisme atau demokrasi dibiarkan melakukan aktivitas di medan kehidupan, sementara pada saat yang sama partai yang berdiri berlandaskan Islam dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan khilafah rasyidah dilarang?
Majelis Hakim yang terhormat,
Bagaimana mungkin Islam ditempatkan pada posisi tertuduh, padahal Islam itulah kebenaran yang berasal dari Pencipta alam semesta? Bagaimana mungkin kewajiban mengemban dakwah Islam dipandang sebagai tindak kriminal dan teroris, yang mengakibatkan para pengembannya diadili?! Sesungguhnya pengadilan terhadap seseorang karena ia mengemban Islam, merupakan dosa besar di sisi Allah dan merupakan bentuk tindak kriminal yang besar. tentu hal itu kemenangan besar bagi kaum kafir. Mereka menjadikan kaum muslimin sendirilah yang meletakkan Islam dalam posisi tertuduh. Itu merupakan kemenangan lain bagi kaum kafir setelah keberhasilan mereka yang pertama dengan menghancurkan Khilafah, hasil konspirasi mereka dengan antek-anteknya yang hina melawan Islam dan kaum muslimin. Mereka telah membinasakan Khilafah dan melarang penerapan Islam. Kemudian mereka melarang kaum muslimin mengembalikan negara mereka dan kesatuan mereka sekali lagi. Ini merupakan kemenangan besar bagi mereka. Namun, keberhasilan kaum kafir yang lebih besar lagi adalah mereka dapat membentuk para penguasa di negeri-negeri kaum muslimin lebih hebat permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin daripada kaum kafir itu sendiri! Sungguh, para penguasa itu memerangi Islam, mereka memerangi para pengemban dakwah Islam, mereka menyingkirkannya, menangkap, dan menyiksanya karena mereka berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam dan mengembalikan Islam ke tengah-tengah kehidupan agar kaum muslimin menjadi kekuatan besar berskala internasional.
Majelis Hakim yang terhormat,
Sungguh Hizbut Tahrir telah memahami bahwa kaum kafir tidak akan mencukupkan diri dengan menghancurkan Khilafah. Sebaliknya, mereka membentuk sistem kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Sistem itu menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang diwajibkan Allah, memerangi Islam dan para pengemban dakwahnya. Dan sistem ini berupaya mempropagandakan pemikiran-pemikiran kufur melalui aktivitas-aktivitas politik dan kebijakan-kebijakan praktis yang dilakukannya. Hizb juga memahami sistem kufur ini berada dibalik kekuatan 'negara' Yahudi dan menjadi penjaganya sebagai limbah najis di jantung negeri kaum muslimin. Selain itu, Hizb memahami bahwa membangkitkan kaum muslimin dan menyembuhkan setiap penyakitnya tidak akan sempurna tanpa tegaknya khilafah rasyidah yang menerapkan hukum Islam di muka bumi. Hizb memahami bahwa aktivitas ini wajib atas kaum muslimin, bahkan merupakan kewajiban besar. Hizb memahami pula bahwa hal itu tidak akan sempurna bila dilakukan secara individu, melainkan harus berupa partai politik yang berideologi Islam.
Setelah mengkaji bagaimana kelompok yang berhasil berdiri serta latar belakang kegagalan gerakan-gerakan lain, berdirilah Hizbut Tahrir. Hizb mengadopsi Islam sebagai fikrah sekaligus thariqah dengan dalil-dalil shahih yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Hizb juga bertekad untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan Daulah Khilafah Rasyidah dengan mengikuti metode Rasulullah SAW, menanggung kesulitan dan deraan di jalan Allah, teguh di atas kebenaran, sabar membangkitkan kaum msulimin dan membebaskan mereka dari keadaan buruk yang kini dijalaninya hingga mereka kembali sebagaimana yang dikehendaki Allah bagi mereka : sebaik-baik umat yang diperuntukkan untuk umat manusia.
Saya, wahai para anggota majelis hakim, telah benar-benar mengamati Hizbut Tahrir, menelaah fikrah dan thariqahnya. Setelah melakukan pembahasan, pendalaman dan kajian saya menemukan bahwa Hizb ini berada di atas kebenaran, menunaikan kewajiban besar yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin. Jelaslah bagi saya bahwa fikrah dan thariqah Hizb berasal dari Islam yang bersih dan murni dengan dalil-dalil shahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh sebab itu, saya masuk Hizbut Tahrir. Sebagai anggota Hizbut Tahrir saya pun mengemban dakwah Islam dan menunaikan kewajiban ini melalui pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Juga menyeru setiap muslim sesuai dengan kemampuan saya untuk menunaikan kewajiban ini. Dan di sini, dari ruang pengadilan, saya menyeru saudara-saudara sekalian, wahai para anggota majelis hakim yang terhormat, untuk meraih hal itu, mengemban Islam dan berjuang menegakkannya. Menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah merupakan kewajiban pada saudara-saudara, saya, dan kaum muslimin.
Majelis hakim yang terhormat,
Inilah latar belakang penangkapan saya oleh penguasa zhalim. Karena hal ini pula saya dihadapkan ke pengadilan di hadapan mahkamah saudara-saudara. Dan hal ini pulalah yang melahirkan kebanggaan dan kehormatan bagi saya yang karena taufik Allah untuk mengemban Islam dan berjuang bersama Hizbut Tahrir. Dan itu bukanlah dosa ataupun perbuatan kriminal.
Majelis Hakim yang terhormat,
Saya tidak mengatakan di akhir pembelaan saya ini pada saudara-saudara bahwa saya membela dosa yang saya lakukan dan saya memohon saudara-saudara untuk membebaskan saya. Saya yakin, saya berada di jalan yang lurus, saya benar-benar melakukan kewajiban yang agung. Saya hanya mengatakan kepada saudara-saudara bahwa saudara-saudara berada di hadapan dua perkara : kalian mentaati Allah, mengemban dakwah, berjalan bersama orang-orang lain di jalan yang benar, lantas menghukumi dengan adil. Niscaya Allah merahmati saudara-saudara. Atau, saudara-saudara maksiyat kepada Allah, menghukumi bukan dengan hukum yang diwahyukan-Nya, lantas memutuskan dengan kezhaliman. Niscaya Allah menyiksa saudara-saudara.Dan Allah Maha Menguasai urusan-Nya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Yusuf [12]:21)

Sabtu, 30 Januari 2016

BENARKAH HT SUKA MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM?


BENARKAH HT SUKA MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM?
(Repost)
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa HT itu sering mengkafirkan umat Islam, hanya gara-gara tidak berhukum dengan hukumnya Allah swt atau hanya gara-gara umat Islam setuju demokrasi atau karena alasan-alasan lain.
Orang mengatakan hal itu memang dengan alasan bermacam-macam. Sebagaian ada yang karena salah paham karena HT sering mengutip ayat “wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun (siapa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir)” QS. Al-Maidah 44, sebagian lagi ada yang sudah paham tetapi terus mengkapanyekan bahwa HT suka menyesatkan umat Islam karena memang memiliki hidden agenda, yaitu mereka menginginkan umat menjauh dari HT dan perjuangannya.
HT benar-benar berlindung kepada Allah swt dari perilaku itu, yakni mengkafirkan sesama umat Islam.
Tulisan ini berupaya membahas hal tersebut dan mendudukkan masalah pada tempatnya secara proporsional. Karena itu, siapa saja yang berminat ingin mengetahui hakikat permasalahan ini, silahkan dibaca dengan pelan-pelan dan dengan kepala dingin. Jika ada yang kurang jelas, silahkan kita diskusikan. Tetapi, bagi siapa saja yang memang ingin mengobarkan “api” fitnah, sebaiknya tidak perlu membaca tulisan ini, sebab tulisan ini akan membuka tabir permasalahan apa adanya.
*****
Untuk membahas hal ini, ada tiga hal yang penting untuk dibahas. Pertama, sikap HT dalam permasalahan khilafiyah, kedua sikap HT dalam masalah qoth’i (sesuatu yang sudah sangat jelas di dalam Islam), ketiga tentang pemahaman terhadap QS. Al-Maidah ayat 44.
Pertama, sikap HT dalam permasalahan khilafiyah (sesuatu hal yang para ulama’ berbeda pendapat tentangnya).
Dalam masalah khilafiyah yang para ulama berbeda pendapat (atau permasalahan yang dzanny), maka HT sangat menghargai perbedaan tersebut. HT tidak pernah dan tidak akan pernah MENGKAFIRKAN umat Islam hanya karena perbedaan hal-hal tersebut. Jika perbedaan itu memang masalah individu, HT tidak akan pernah mencampuri hal itu, misalnya tentang qunut di dalam sholat subuh dan lain sebagainya. Bahkan, terhadap para ktivisnya, HT membiarkan para aktivisnya untuk mengamalkan yang dianggapnya lebih kuat atau rajih. Maka, tak mengherankan, di kalangan syabab HT, ada yang qunut saat subuh dan ada yang tidak. Jika perbedaan itu dalam wilayah publik, di satu sisi HT menghargai perbedaan tersebut, tetapi di sisi lain HT menjelaskan bahwa dalam urusan publik seharusnya perbedaan tersebut diputuskan oleh Imam atau Khalifah, sehingga perbedaan itu tidak membawa kepada perpecahan umat.
Dalam wilayah perbedaan atau khilafiyah, HT memiliki dua sikap: a. Menghargai perbedaan b. Mendorong umat Islam untuk mencari yang dalilnya lebih kuat atau lebih rajih.
Dengan kedua sikap tersebut, umat Islam bersikap toleran dalam perbedaan dan mendorong umat untuk terus-menerus mencari yang terbaik dan terkuat dalilnya. Saat, seseorang merasa mendapatkan pendapat yang kuat, maka sikapnya harus seperti sikap para ulama salaf, yang mengatakan: “ra’yi showabun yahtamilu al khoto’, wa ro’yu ghorina khoto yahtamilu ash-showab (mendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, sementara pendapat lain salah tetapi ada kemungkinan benar)”. Dengan sikap ini, ia mantap dan tidak ragu dalam menjalani sesuatu, sekaligus toleran kepada umat Islam lain yang berbeda pendapat dengannya. Juga, umat terdorong untuk terus mengkaji-kaji dan mendengarkan berbagai pendapat lain, karena bagaimanapun juga mendapatnya masih ada kemungkinan salah atau dalilnya lemah.
Dalam urusan perbedaan pendapat, umat Islam mestinya tidak mengatakan bahwa pendapatnya adalah pendapat ISLAM (ra’yul Islam), sebab dengan demikian ia akan menganggap pendapat lain sebagai bukan pendapat Islam (ra’yu ghioril Islam). Tetapi, yang harus dikatakan adalah bahwa pendapatnya adalah pendapat yang ISLAMY (ra’yun Islamiyyun). Pendapat yang Islamy, bukan pendapat Islam. Artinya pendapatnya adalah pendapat yang memang ada sandaran dalil-dalil yang dibenarkan dalam Islam (yaitu qur’an, hadits, ijma shohabat dan qiyas). Dengan sikap itu, ia akan menganggap pendapat lain yang juga berdasar dalil juga sebagai pendapat yang Islamy (ra’yun Islamiyyun). Ia tidak akan mengatakan pendapat lain sebagai bid’ah selama pendapatnya itu memang ada dalilnya, meskipun dalilnya itu subhatut dalil. Bid’ah hanya layak diucapkan kepada pendapat dan perbuatan dalam hal ibadah mahdloh yang TIDAK ADA PIJAKAN DALILNYA SAMA SEKALI.
Inilah yang dinyatakan di dalam kitab Mafahim Hizbit Tahrir halaman 70-71: “Para pengemban dakwah hendaknya menganggap bahwa pemahaman mereka terhadap hukum-hukum syara’ adalah pemahaman yang benar, meski ada kemungkinan salah. Begitu pula hendaknya menganggap pemahaman orang lain itu salah, meski ada kemungkinan benar. Hal ini akan membuka peluang kepada mereka untuk berdakwah menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya sesuai dengan pemahaman dan istinbath mereka terhadap hukum-hukum tersebut. Hendaknya mereka mencoba mengubah pemahaman orang lain yang dinilai salah, meski ada kemungkinan benar; lalu diajak agar mengikuti pemahamannya, yaitu pemahaman yang dianggapnya benar, meski ada kemungkinan salah. Berdasarkan hal ini, pengemban dakwah tidak boleh mengatakan mengenai pendapatnya, bahwa pendapat ini adalah pendapat Islam. Yang seharusnya mereka katakan adalah pendapat ini merupakan pendapat yang Islamy. Para Imam Madzhab dari kalangan mujtahidin menganggap bahwa istinbath (ijtihad) mereka terhadap hukumhukum syara’ adalah benar, namun ada kemungkinan salah. Mereka selalu mengatakan: “Apabila hadits tersebut benar (shahih) itulah madzhabku dan buang jauhlah pendapatku”. Pengemban dakwah harus menganggap bahwa pendapat yang ditentukannya atau yang telah mereka usahakan dan sampai pada pendapat yang dipilihnya itu berasal dari Islam dan sesuai dengan apa yang mereka pahami, dan itu adalah pendapat yang benar meski ada kemungkinan salah”.
Inilah sikap HT dalam permasalahan khilafiyah di kalangan umat Islam. HT tidak pernah MENGKAFIRKAN umat Islam, hanya karena berbeda dalam urusan khilafiyah.
*****
Kedua, sikap HT dalam urusan qoth’i.
Sikap HT dalam masalah yang qoth’i sangat jelas, baik qoth’i dalam masalah akidah, seperti Imam kepada Allah, al-quran kalamullah, Muhammad sebagai rasulullah dan lain sebagainya, atau qoth’i dalam masalah syariah seperti wajibnya sholat dzuhur, sholat dzuhur empat rekaat, wajibnya zakat, wajibnya puasa ramadhan, wajibnya haji bagi yang mampu, wajibnya menutup aurat, haramnya minum khamr, haramnya riba dan lain sebagainya. Dalam hal yang qoth’i seperti ini HT memiliki sikap: bahwa umat Islam tidak boleh berbeda dalam hal seperti ini. Siapa saja orangnya, siapapun dia, yang berbeda dalam masalah ini maka ia jelas-jelas KAFIR.
Orang yang tak mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah saw, maka ia jelas kafir. Orang yang mengakui ada nabi lagi setelah Muhammad saw, seperti mengakui Ghulam Ahmad atau Lia Eden sebagai Nabi, maka mereka juga kafir.
Orang yang tak mengakui al-qur’an sebagai kalamullah, tetapi menganggap al-qur’an itu hanyalah buatan manusia, maka ia jelas kafir. Siapa saja yang menganggap bahwa di dalam al-qur’an ada kesalahan, maka dia juga kafir.
Siapa saja yang menolak syariah Islam yang ada di dalam al-qur’an dan hadits dan menganggap bahwa lebih baik aturan buatan manusia, maka ia juga kafir.
Jadi, sikap HT dalam masalah ini sangat jelas. HT akan mengkafirkan orang-orang kafir, dan tidak akan menggap mereka sebagai orang Islam.
Namun, dalam bermuamalah (berinteraksi sosial) dengan orang kafir, HT memilahnya sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Orang kafir yang tidak menggangu umat Islam (misalnya tetangga kita yang beragama kristen atau hindu atau selainnya), selama ia tidak mengganggu kita, maka HT memandang bahwa kita harus bermuamalah dengan baik dengan mereka. Mereka tidak boleh disakiti, diganggu, didzalimi atau yang lain. Mengebom rumah ibadah mereka dan aksi terorisme merupakan perbuatan yang sangat tidak dibenarkan oleh Islam.
Sedangkan orang kafir yang mengganggu umat Islam, misalnya yang di Tolikara atau orang kafir Amerika yang memerangi umat Islam, maka HT berpandangan bahwa mua’amalah dengan mereka harus dengan mua’malatul harbi. Kita harus mengganggap mereka sebagai orang kafir yang sedang menyerang umat Islam. Kita tidak boleh bersikap lembut dan sayang kepada mereka.
Sementara orang kafir yang murtad, karena keluar dari Islam secara terang-terangan dan berpindah ke agama lain; atau karena sering menghina Islam dan syariahnya, padahal ia masih mengaku muslim, maka dalam hal ini sikap HT sebagaimana ketentuan syariah Islam. Dalam Islam, orang yang keluar dari Islam (murtad), sanksinya adalah dibunuh. Namun, yang dapat melakukan sanksi ini hanya negara, sebab negara itulah yang memiliki hal untuk menerapkan hukum kepada rakyatnya. HT tidak akan melakukan eksekusi mati kepada orang-orang yang murtad. Karena HT hanyalah organisasi masyarakat (kiyan fikri), bukan negara yang memiliki wewenang menerapkan hukum kepada rakyatnya (kiyan tanfidzi).
Jika negara tidakmau melakukannya, maka HT tak akan berhenti untuk mengingatkan dan mendakwahi para pengambil kebijakan agar menerapkan hukum Allah swt. Namun, HT menyadari bahwa mereka tidak akan mau menerapkan hukum Allah, karena hukum positif yang berlaku memang bukan hukum Allah, tetapi hukum buatan rakyat (demokrasi), maka HT berjuang sungguh-sungguh agar terjadi perubahan masyarakat dari sistem kapitalisme (yang berdasar hukum buatan rakyat) menuju sistem Khilafah (yang berdasar hukum Allah swt).
Inilah sikap HT. Perjuangan inilah yang terus dilakukan oleh HT.
Jadi, jika dikatakan bahwa HT mengkafirkan orang kafir dan menganggap sistem yang tidak Islamy sebagai sistem kufur, maka pernyataan itu MEMANG BENAR ADANYA. HT tidak pernah berpura-pura atau menutupi suatu masalah, karena hanya ingin cari selamat.
*****
Ketiga, Tentang permasalahan: apakah benar bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, maka ia kafir berdasarkan firman ayat surat Al-Maidah 44 di atas.
Jawabnya, belum tentu.
Untuk memahami segala sesuatu, kita harus melihatnya secara holistik atau menyeluruh. Ayat yang membicarakan tentang orang yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah, tidak hanya Al-Maidah ayat 44, tetapi juga juga Al-Maidah ayat 45 dan ayat 47. Pada ayat 45, Allah menyatakan bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir tetapi DZALIM. Sementara pada ayat ke 47, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, mereka adalah orang FASIQ. Dengan demikian, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt harus dirinci, tidak bisa langsung dihukumi sebagai KAFIR.
Dalam hal ini, Syeikh Syuwaiki telah memberikan rincian yang sangat detil dalam masalah ini dalam kitab Al-Kholas wa Ikhtilafu An-nas. Di dalam kitab ini, beliau juga menjelaskan penjelasan dari banyak ulama terkait masalah ini.
a. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah KAFIR, jika orang yang menerapkan hukum selain Allah tadi tidak meyakini hukum Allah, atau menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih adil dibanding hukum Allah swt. Misalnya, dalam kasus pencurian. Setelah terbukti bahwa seseorang melakukan pencurian yang sampai pada batas tertentu untuk dipotong tangannya. Tetapi ia memutuskan bahwa pencuri tersebut lebih baik dihukum penjara, karena menurutnya lebih manusiawi, lebih bijak, lebih sesuai HAM, dan lebih-lebih yang lain, dibanding dengan hukum potong tangan yang telah disyariahkan Allah swt. Maka dalam kondisi ini, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt adalah KAFIR.
b. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah FASIQ, jika orang tersebut masih meyakini hukum Allah swt sebagai hukum yang benar dan adil, tetapi karena suatu hal ia tidak bisa melaksanakan hukum Allah tersebut. Lalu pada saat yang sama, ketika ia menjatuhkan hukum, ia tetap memberikan hak seseorang sesuai hak-nya (yu’thi kulla dzi haqqin haqqahu). Contoh, dalam kasus pencurian tersebut. Ia tahu bahwa hukum Allah swt adalah potong tangan. Dan ini adalah hukum yang paling adil dan paling baik. Tetapi, ia tetap memutuskan orang yang mencuri dengan penjara karena berbagai hal (misalnya, karena itulah hukum positif yang ada), dan ia memutuskan barang yang dicuri harus dikembalikan kepada yang dicuri. Dalam kondisi ini, ia FASIQ. Ia merasa bahwa keputusannya adalah melanggar ketentuan Allah, namun ia berusaha memberikan haknya orang yang dicuri. Ia fasiq karena memutuskan hukum tidak sebagaimana yang diturunkan Allah swt yaitu “hukuman penjara”, bukan hukum “potong tangan”.
c. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah DZALIM jika sama dengan kondisi (b), tetapi ia TIDAK memberikan hak kepada yang memilikinya (lam yu’thi kulla dzi haqqin haqqahu). Ia sewenang-wenang. Contoh dalam kasus pencurian di atas, misalnya, lalu ia memutuskan bahwa pencuri tersebut tidak salah, padahal ia tahu bahwa ia salah. Ketika memutuskan ini, ia sadar bahwa ia telah berdosa kepada Allah karena tidak berhukum dengan hukum Allah swt dan berbuat semena-mena kepada makhluknya Allah. Maka dalam kondisi ini, ia adalah orang yang DZALIM.
Jadi, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, tidak bisa lantas disebut sebagai KAFIR. Sebab, selain KAFIR, atau dua kemungkinan lain, yaitu FASIQ atau DZALIM. Namun, memang harus dikatakan di sini, bahwa tidak ada ceritanya orang yang memutuskan hukum selain yang diturunkan Allah swt kemudian dinamakan sebagai orang ADIL. Sebutan ADIL itu hanya bisa diberikan kepada orang yang berhukum dengan hukum Allah swt. Allah berfirman, “Jika kalian berhukum, maka putuskanlah hukum secara adil” (QS. An-Nisa 58). Para ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan adil adalah berhukum sesuai dengan yang diturunkan oleh Allah swt.
Dalam hal ini, HT selalu menggunakan redaksi umum, misalnya “orang yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah swt tetapi mengunakan hukum manusia (demokrasi), mereka itu ada kalanya KAFIR, atau FASIQ, atau DZALIM”. Dan pernyataan ini sebetulnya hanyalah terjemahan dari surat al-Maidah 44, 45 dan 47. Dalam hal ini, HT TIDAK MEMBUAT PERNYATAANNYA SENDIRI. Sebaliknya, HT tidak pernah menggunakan redaksi khusus, mislanya “si A telah kafir”. Seandainya HT mengatakan “si A telah kafir”, pasti sudah dipastikan dan ditahqiq bahwa yang bersangkutan memang mengatakan secara verbal bahwa misalnya ia telah mengatakan: “hukum yang ada (demokrasi) memang lebih baik dibanding hukumnya Allah”. Maka dalam hal ini ia telah mengucapkan sesuatu yang telah membatalkan i’tiqodnya (keyakinannya). Para ulama juga telah menjelaskan dengan sangat detil, bahwa yang dapat membatalkan i’tiqod-nya seseorang itu bisa berupa ucapan, tindakan, atau keyakinan di dalam hati.
Jadi, HT tidak akan pernah mengkafirkan umat Islam atau seseorang yang tidak kafir. Justru HT menginginkan agar umat ini bersatu dan meraih kemulian bersama-sama. HT mengajak umat untuk bersatu di bawah Khilafah Islamiyah. Khilafah inilah sebenarnya inti dari persatuan umat.
Namun, jika ada sebagian orang yang MERASA dikafirkan HT karena HT mengutip al-Maidah 44, 45 dan 47, maka sebaiknya kita hati-hati dengan perasaan itu. HT hanya mengutip ayat al-qur’an. Jangan-jangan, kita bukan tersinggung oleh HT, tetapi tersinggung oleh ayat al-qur’an. Jika kita tersinggung dengan al-Qur’an, maka kita harus instropeksi. Sebab, orang Islam itu seharusnya hati-nya bergetar saat dibacakan al-Qur’an, dan sangat berterima kasih saat dinasihati seseorang dengan al-Qur’an, karena al-qur’an itu adalah petunjuk (hudan) dan obat penyakit hati (syifa’un li ma fish shudur). Tetapi, jika ada yang membacakan al-Qur’an kepada kita, lalu kita marah atau tersinggung dengan bacaan tersebut, barangkali memang ada “sesuatu” di hati kita.
Mungkin ada yang mengatakan: mengapa HT sering mengutip ayat itu, padahal ayat al-Qur’an itu kan banyak? Itu kan menuduh orang namanya?
Jawabnnya adalah sebuah pertanyaan: mengapa tidak boleh mengutip dan membaca ayat itu? Memangnya ada apa dengan ayat itu? Mengapa kita tertuduh dengan ayat itu? Memangnya apa yang sedang terjadi pada diri kita, sehingga kita tertuduh dengan sebagian ayat al-Qur’an?
Terus terang, HT tidak menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Pertanyaan ini hanya bisa kita jawab oleh diri kita sendiri.
Wallahu a’lam bish showab.

Rabu, 04 November 2015

SEBUAH KOMENTAR ATAS DEMOKRASI (TERKAIT HUKUM MEMBUAT KTP, HUKUM MENJADI PNS DI PEMERINTAHAN KUFUR, HUKUM MENGURUS PASPOR )


Tanpa sadar, seringkali keberpihakan kita terhadap suatu pemikiran atau ide disandarkan kepada konsistensi pengikut ide itu dalam berpegang teguh kepada ide-idenya. Kita seringkali mencemooh suatu ide atau pemikiran, ketika kita melihat para pengembannya sudah tidak lagi konsisten (inkonsistensi) terhadap ide atau pemikiran tersebut. Bahkan, seringkali kita malah antipati terhadap suatu ide, ketika pengikut atau pengusung idenya tidak lagi konsisten memegang ide tersebut, atau ketika mereka kesulitan mengimplementasikan ide-idenya di ruang realitas; padahal ide itulah yang benar sesuai dengan syari’at.

Contohnya, ide Khilafah Islamiyyah. Banyak orang menolak ide khilafah, atau mencemooh ide ini, atau tidak mau memperjuangkannya, ketika para pengikutnya sudah tidak lagi konsisten, atau karena mereka sudah berbelok tidak lagi memperjuangkan ide tersebut karena adanya tekanan dan kesulitan; atau karena ide ini dianggap sulit untuk diperjuangkan dan diimplementasikan; atau kurang marketable. Sebaliknya, banyak orang berbondong-bondong memperjuangkan ide sesat ala demokrasi, dengan alasan ide ini lebih mudah diterapkan, atau karena banyak orang dan kelompok yang memperjuangkannya.

Rabu, 01 Juli 2015

Alhamdulillah baru bisa lagi nengok blog ini, sudah lama dan lebih dari dua tahun blog ini tak di tengok apalagi di update isinya... Semoga semuanya baik baik saja... Terus berjuang berdakwah menyampaikan islam... Sampai tegaknya khilafah atau raga ini mati tersungkur di bumi

Sabtu, 26 Oktober 2013

MENGAPA TIDAK BERGABUNG DENGAN PARPOL / MASUK PARLEMEN SAJA?

Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik:  Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:

1. Tentang POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan.  Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid!  apalagi di jalanan!
Sayangnya mereka keliru!
Sholat memang sebuah ibadah.  Masjid juga tempat ibadah.  Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik!  Aktivitas politik adalah fardhu kifayah.

Selasa, 26 Juli 2011


AL-KHILAFAH

PERKARA MENDESAK
(mahkota dari segala kewajiban)
oleh: Azizi Fathoni K.
1130786906244MUQADDIMAH
Terhitung sejak runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyyah di Turki pada tanggal 28 Rajab 1342 H, sudah 88 tahun lebih umat Islam tidak lagi hidup di bawah kepemimpinan seorang Khalîfah. Rentang yang sangat lama bila dibandingkan dengan ijmâ’ para Sahabat Nabiradhiyallâhu ‘anhum, yaitu umat Islam tidak boleh vakum dari kepemimpinan melebihi batas waktu 3 hari 3 malam.
Tiga puluh satu ribu hari lebih berlalu, pemahaman sebagian umat Islam mengenai eksistensi Negara Khilafah kian jauh dan semakin kabur, terlebih saat benturan dengan Peradaban Barat yang sekular terus terjadi. Sejak abad 18 M sampai saat ini paham Sekularisme (paham yang memisahkan antara agama dengan Negara) sudah mulai dan kian banyak mempengaruhi cara berfikir generasi kaum muslimin dan bahkan telah dianggap sebagai harga mati, sehingga banyak di antara mereka yang merasa aneh dan justru menolak jika agamanya (Islam) diterapkan di tengah-tengah kehidupan dan cenderung memilih gaya hidup yang sekularistik, menolak setiap hal yang berbau Islam saat bersinggungan dengan urusan publik atau pemerintahan.
292289348_f10dd0ccbfPenting rasanya mengenalkan kembali tentang wajib dan perlunya mendirikan Negara Khilafah. Selain sebagaipemersatu umat Islam dalam ikatan al-ukhuwwah al-Islâmiyyah danmenyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok bumi, Negara Khilafah juga berperan sebagai kiyânut-tanfîdz (institusi pelaksana) sekaligus hâris (penjaga) bagi keberlangsungan syari’at Islam secarakâffah (menyeluruh) di tengah-tengah kehidupan manusia. Tentunya juga penjaga Jiwa, Harta dan Kehormatan kaum muslimin dimanapun mereka berada.
292289339_7c2e511735Dialah bagian vital dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sudah sepatutnya setiap muslim memahaminya dengan benar sebagaimana pemahaman para Ulama terdahulu, sehingga ajaran Islam yang komprehensif tampak jelas laksana terangnya matahari di siang hari, dan Islam sebagai rahmat lil-‘âlamin (rahmat bagi alam semesta) tidak lagi hanya bisa diucap dan didengar, tapi juga benar-benar bisa disaksikan dan dirasakan secara nyata.
Tulisan sederhana ini membahas empat point utama berikut.

Rabu, 02 Maret 2011

Tanggapan Balik ATas tanggapan RApuh

TANGGAPAN BALIK ATAS TANGGAPAN RAPUH II {Tanggapan Balik Ust.Syamsuddin Ramadhan (HTI) atas Tulisan Ust.Abu Yahya (Salafy)}

oleh Sulaiman Al-Qonuni pada 26 Februari 2011 jam 16:28
LANJUTAN dari TANGGAPAN BALIK ATAS TANGGAPAN RAPUH I, silahkan baca di Link:

http://www.facebook.com/notes/sulaiman-al-qonuni/tanggapan-balik-atas-tanggapan-rapuh-i-bantahan-ustsyamsuddin-ramadhan-hti-terha/10150403995420092

BERLANJUT------------>

HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

Selasa, 04 Januari 2011

doa dan dzikir setelah sholat

Kitab Subulus Salaam,
Muhammad bin Isma'il ash-Shan'ani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indonesia

Seseorang dituntut agar melaksanakan salat seperti salatnya Nabi sesuai dengan sabdanya, "Sholluu Kamaa Roatumuuni Usholli" (salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sedang salat). Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan zikir jika telah selesai salat, maka kita juga mengerjakannya, meskipun tidak mampu selengkap beliau.
Zikir-zikir yang di baca Nabi saw setiap selesai salat banyak sekali, baik yang diriwayatkan dengan sanad yang dhaif/lemah ataupun yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih (kuat). Adapun zikir-zikir yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih itu di antaranya adalah sebagai berikut:

Kamis, 23 Desember 2010

~BUNUH DIRI, Takdirkah?~

Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.

Dalam hadist di atas, dijelaskan bahwa perkara Ajal adalah perkara yang telah Allah tetapkan waktunya. Tidak bisa dimajukan, ataupun dimundurkan. Perkara ini adalah perkara yang qath’iy. Bahkan didalam al qur’an, hal ini banyak dijelaskan oleh Allah swt. Diantaranya adalah :

Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).

مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Lantas timbul pertanyaan, lha… kalau begitu bagaimana dengan orang yang bunuh diri? Apakah aktivas tersebut merupakan suatu yang telah Allah tetapkan?

Untuk menjawab persoalan itu,maka haruslah cermat dalam melihat relitasnya. Bukan hanya secara bahasa saja, sehingga ditafsirkan apa yang di lihat.

Pertama, kita harus membahas dulu tentang hakikat takdir dan kematian itu sendiri. Keduanya tidaklah boleh dicampuradukan. Yang kedua barulah kita menyoal perkara kematian/bunuh diri tersebut.

Kematian/ajal

Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan mematikan. Allah SWT berfirman:

وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).

Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).

Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia. Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut untuk mencabut ruh dari jasad (QS as-Sajdah [32]: 11).

Takdir

Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu ( Al-‘Allim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi kelak. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di lauhul mahfudz (kitab induk dan gambaran umum akan luasnya ilmu Allah SWT).

Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Quran dan hadist Rasulullah SAW. Dengan kata lain taqdir  adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan “segala sesuatu” yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatan, makhluk hidup lain, dan lain-lainnya, semuanya telah tercatat / diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di lauhul mahfudz.

Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu malaikat Jibril datang kepada Muhammad SAW dan bertanya :

 “coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rasulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kiamat, dan percaya kepada taqdir baik dan taqdir buruknya berasal sadi allah SWT.” (Hadist Muslim).

Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasibseseorang di dunia ini maupun di akherat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb.

Pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan ilmu Allah dan kekhususan bagiNya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-Allim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahuiNya.

Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, janganlah mencampur-adukkan antar “iman kepada taqdir” tersebut dengan “amal perbuatan manusia, Karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu.
Rasulullah SAW telah melarang para sahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkab manusia tidak mau berusaha. Harus difahami bahwa ada perbedaan antara : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan.

Telah diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Ali bin abi Thalib ra. Yang artinya :

“Rasulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para sahabatnya). Ditangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggore-gores tanah. Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (syurga) dan jahanam”. Para sahabat terkejut lalu bertanya : “kalau demikian ya Rasulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh allah jalan yang sudah ditentukan baginya,” lalu Rasulullah membaca surat Al lail ayat 5-10”. (syarah shahih muslim, imam Nawawi, juz XVI, hal 196-197).


Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah telah selesai menuliskan takdir semua makhluk, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” Beliau menambahkan, “Dan arsy Allah itu berada di atas air.” (HR. Muslim no. 4797)

Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)

Perlu difahami bahwa apa yang telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) tidaklah menunjukan bahwa Allah swt telah memaksa dalam perbuatan seorang hamba. Tidaklah demikian tafsirnya.melainkan hanya menunjukan bahwa betapa maha luasnya ilmu Allah tersebut. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Allah swt tidaklah zalim terhadap hamba-Nya.

Allah swt berfirman,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)

Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)

Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.

Allah telah memberikan pilihan bagi manusia untuk berbuat. Apakah dia berbuat baik atau jahat (melanggar perintah dan larangan Allah). Dan perbuatan itu yang nantinya akan di hisab. Sama dengan konteks bunuh diri.

Tidak bisa dikatakan kepada orang yang telah meninggal karena bunuh diri dengan perkataan , “semua adalah takdir Allah”.

Karena tak ada seorangpun manusia yang tahu apa yang telah tertulis bagi dirinya di lauhul mahfudz. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seorang yang berkata : “saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di lauhul mahfudz harus berbuat begini”. Karena darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan itu baginya di lauhul mahfudz???

Adanya catatan di lauhul mahfudz bahwa si fulan bin fulan meninggal dalam keadaan bunuh diri tidak bisa dijadikan dasar, karena sekali lagi, adanya catatan di lauhul mahfudz itu tidaklah bisa dikatakan bahwa Allah telah menetapkan perbuatan itu tanpa kecuali sehingga manusia cukup berdiam diri saja. Jelas tidak benar! Para ‘ulama sepakat bahwa apa yang tertulis di lauhul mahfudz itu hanya menunjukan betapa maha luasnya ilmu Allah terhadap apa-apa yang telah Dia ciptakan, baik alam semesta, manusia dan kehidupan.

Apalagi banyak hadist-hadist yang mengharamkan bunuh diri itu sendiri.

“Pernah ada seseorang yang terluka, kemudian dia membunuh dirinya. Maka, Allah pun berfirman: ‘Hamba-Ku telah meminta kepada-Ku menyegerakan (kematian) dirinya, maka Aku haramkan surga untuknya.’” (Hr. Bukhari)

Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi itu selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam nanti ia akan terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan menjatuhkan (dirinya) selama-lamanya.” (HR. Muslim, 109)

Timbul pertanyaan lagi, jika kematian atau ajal telah ditetapkan, bagaimana dengan hadist-hadist yang menceritakan tentang bertambahnya umur manusia?

Seperti bunyi pada hadist :

Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).

Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Karena secara qath’iy jelas kematian/ajal tidaklah bisa ditunda, diundur, atau dimajukan, yang bertambah tidak lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya.

Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).

Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas maka akan di dapat kesimpulan :
1.      Semua yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi kesemunya telah tertulis di kitab lauhul mahfudz.

2.      Kitab lauhul Mahfudz hanya menunjukan betapa maha luasanya keilmuan Allah, yang tidak memaksa atas apa yang tertulis didalamnya terhadap perbuatan hamba.

3.      Perkara datangnya ajal/kematian adalah perkara yang pasti. Namun, Allah akan menghisab sebab-sebab kematian itu, apakah karena bunuh diri atau karena sebab lain. Dan sebab-sebab kematian yang itu terjadi di luar kuasa manusia maka Allah tidak akan menghisabnya, seperti meninggal tertimpa batu, jatuh dari pohon, kecelakaan, dan lain-lain yang kesmuanya itu diluar dari kuasa manusia untuk memilih apakah akan dilakukan ataukah tidak dilakukan.

Wallahu A’lam. []