Sabtu, 30 Januari 2016

BENARKAH HT SUKA MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM?


BENARKAH HT SUKA MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM?
(Repost)
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa HT itu sering mengkafirkan umat Islam, hanya gara-gara tidak berhukum dengan hukumnya Allah swt atau hanya gara-gara umat Islam setuju demokrasi atau karena alasan-alasan lain.
Orang mengatakan hal itu memang dengan alasan bermacam-macam. Sebagaian ada yang karena salah paham karena HT sering mengutip ayat “wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun (siapa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir)” QS. Al-Maidah 44, sebagian lagi ada yang sudah paham tetapi terus mengkapanyekan bahwa HT suka menyesatkan umat Islam karena memang memiliki hidden agenda, yaitu mereka menginginkan umat menjauh dari HT dan perjuangannya.
HT benar-benar berlindung kepada Allah swt dari perilaku itu, yakni mengkafirkan sesama umat Islam.
Tulisan ini berupaya membahas hal tersebut dan mendudukkan masalah pada tempatnya secara proporsional. Karena itu, siapa saja yang berminat ingin mengetahui hakikat permasalahan ini, silahkan dibaca dengan pelan-pelan dan dengan kepala dingin. Jika ada yang kurang jelas, silahkan kita diskusikan. Tetapi, bagi siapa saja yang memang ingin mengobarkan “api” fitnah, sebaiknya tidak perlu membaca tulisan ini, sebab tulisan ini akan membuka tabir permasalahan apa adanya.
*****
Untuk membahas hal ini, ada tiga hal yang penting untuk dibahas. Pertama, sikap HT dalam permasalahan khilafiyah, kedua sikap HT dalam masalah qoth’i (sesuatu yang sudah sangat jelas di dalam Islam), ketiga tentang pemahaman terhadap QS. Al-Maidah ayat 44.
Pertama, sikap HT dalam permasalahan khilafiyah (sesuatu hal yang para ulama’ berbeda pendapat tentangnya).
Dalam masalah khilafiyah yang para ulama berbeda pendapat (atau permasalahan yang dzanny), maka HT sangat menghargai perbedaan tersebut. HT tidak pernah dan tidak akan pernah MENGKAFIRKAN umat Islam hanya karena perbedaan hal-hal tersebut. Jika perbedaan itu memang masalah individu, HT tidak akan pernah mencampuri hal itu, misalnya tentang qunut di dalam sholat subuh dan lain sebagainya. Bahkan, terhadap para ktivisnya, HT membiarkan para aktivisnya untuk mengamalkan yang dianggapnya lebih kuat atau rajih. Maka, tak mengherankan, di kalangan syabab HT, ada yang qunut saat subuh dan ada yang tidak. Jika perbedaan itu dalam wilayah publik, di satu sisi HT menghargai perbedaan tersebut, tetapi di sisi lain HT menjelaskan bahwa dalam urusan publik seharusnya perbedaan tersebut diputuskan oleh Imam atau Khalifah, sehingga perbedaan itu tidak membawa kepada perpecahan umat.
Dalam wilayah perbedaan atau khilafiyah, HT memiliki dua sikap: a. Menghargai perbedaan b. Mendorong umat Islam untuk mencari yang dalilnya lebih kuat atau lebih rajih.
Dengan kedua sikap tersebut, umat Islam bersikap toleran dalam perbedaan dan mendorong umat untuk terus-menerus mencari yang terbaik dan terkuat dalilnya. Saat, seseorang merasa mendapatkan pendapat yang kuat, maka sikapnya harus seperti sikap para ulama salaf, yang mengatakan: “ra’yi showabun yahtamilu al khoto’, wa ro’yu ghorina khoto yahtamilu ash-showab (mendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, sementara pendapat lain salah tetapi ada kemungkinan benar)”. Dengan sikap ini, ia mantap dan tidak ragu dalam menjalani sesuatu, sekaligus toleran kepada umat Islam lain yang berbeda pendapat dengannya. Juga, umat terdorong untuk terus mengkaji-kaji dan mendengarkan berbagai pendapat lain, karena bagaimanapun juga mendapatnya masih ada kemungkinan salah atau dalilnya lemah.
Dalam urusan perbedaan pendapat, umat Islam mestinya tidak mengatakan bahwa pendapatnya adalah pendapat ISLAM (ra’yul Islam), sebab dengan demikian ia akan menganggap pendapat lain sebagai bukan pendapat Islam (ra’yu ghioril Islam). Tetapi, yang harus dikatakan adalah bahwa pendapatnya adalah pendapat yang ISLAMY (ra’yun Islamiyyun). Pendapat yang Islamy, bukan pendapat Islam. Artinya pendapatnya adalah pendapat yang memang ada sandaran dalil-dalil yang dibenarkan dalam Islam (yaitu qur’an, hadits, ijma shohabat dan qiyas). Dengan sikap itu, ia akan menganggap pendapat lain yang juga berdasar dalil juga sebagai pendapat yang Islamy (ra’yun Islamiyyun). Ia tidak akan mengatakan pendapat lain sebagai bid’ah selama pendapatnya itu memang ada dalilnya, meskipun dalilnya itu subhatut dalil. Bid’ah hanya layak diucapkan kepada pendapat dan perbuatan dalam hal ibadah mahdloh yang TIDAK ADA PIJAKAN DALILNYA SAMA SEKALI.
Inilah yang dinyatakan di dalam kitab Mafahim Hizbit Tahrir halaman 70-71: “Para pengemban dakwah hendaknya menganggap bahwa pemahaman mereka terhadap hukum-hukum syara’ adalah pemahaman yang benar, meski ada kemungkinan salah. Begitu pula hendaknya menganggap pemahaman orang lain itu salah, meski ada kemungkinan benar. Hal ini akan membuka peluang kepada mereka untuk berdakwah menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya sesuai dengan pemahaman dan istinbath mereka terhadap hukum-hukum tersebut. Hendaknya mereka mencoba mengubah pemahaman orang lain yang dinilai salah, meski ada kemungkinan benar; lalu diajak agar mengikuti pemahamannya, yaitu pemahaman yang dianggapnya benar, meski ada kemungkinan salah. Berdasarkan hal ini, pengemban dakwah tidak boleh mengatakan mengenai pendapatnya, bahwa pendapat ini adalah pendapat Islam. Yang seharusnya mereka katakan adalah pendapat ini merupakan pendapat yang Islamy. Para Imam Madzhab dari kalangan mujtahidin menganggap bahwa istinbath (ijtihad) mereka terhadap hukumhukum syara’ adalah benar, namun ada kemungkinan salah. Mereka selalu mengatakan: “Apabila hadits tersebut benar (shahih) itulah madzhabku dan buang jauhlah pendapatku”. Pengemban dakwah harus menganggap bahwa pendapat yang ditentukannya atau yang telah mereka usahakan dan sampai pada pendapat yang dipilihnya itu berasal dari Islam dan sesuai dengan apa yang mereka pahami, dan itu adalah pendapat yang benar meski ada kemungkinan salah”.
Inilah sikap HT dalam permasalahan khilafiyah di kalangan umat Islam. HT tidak pernah MENGKAFIRKAN umat Islam, hanya karena berbeda dalam urusan khilafiyah.
*****
Kedua, sikap HT dalam urusan qoth’i.
Sikap HT dalam masalah yang qoth’i sangat jelas, baik qoth’i dalam masalah akidah, seperti Imam kepada Allah, al-quran kalamullah, Muhammad sebagai rasulullah dan lain sebagainya, atau qoth’i dalam masalah syariah seperti wajibnya sholat dzuhur, sholat dzuhur empat rekaat, wajibnya zakat, wajibnya puasa ramadhan, wajibnya haji bagi yang mampu, wajibnya menutup aurat, haramnya minum khamr, haramnya riba dan lain sebagainya. Dalam hal yang qoth’i seperti ini HT memiliki sikap: bahwa umat Islam tidak boleh berbeda dalam hal seperti ini. Siapa saja orangnya, siapapun dia, yang berbeda dalam masalah ini maka ia jelas-jelas KAFIR.
Orang yang tak mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah saw, maka ia jelas kafir. Orang yang mengakui ada nabi lagi setelah Muhammad saw, seperti mengakui Ghulam Ahmad atau Lia Eden sebagai Nabi, maka mereka juga kafir.
Orang yang tak mengakui al-qur’an sebagai kalamullah, tetapi menganggap al-qur’an itu hanyalah buatan manusia, maka ia jelas kafir. Siapa saja yang menganggap bahwa di dalam al-qur’an ada kesalahan, maka dia juga kafir.
Siapa saja yang menolak syariah Islam yang ada di dalam al-qur’an dan hadits dan menganggap bahwa lebih baik aturan buatan manusia, maka ia juga kafir.
Jadi, sikap HT dalam masalah ini sangat jelas. HT akan mengkafirkan orang-orang kafir, dan tidak akan menggap mereka sebagai orang Islam.
Namun, dalam bermuamalah (berinteraksi sosial) dengan orang kafir, HT memilahnya sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Orang kafir yang tidak menggangu umat Islam (misalnya tetangga kita yang beragama kristen atau hindu atau selainnya), selama ia tidak mengganggu kita, maka HT memandang bahwa kita harus bermuamalah dengan baik dengan mereka. Mereka tidak boleh disakiti, diganggu, didzalimi atau yang lain. Mengebom rumah ibadah mereka dan aksi terorisme merupakan perbuatan yang sangat tidak dibenarkan oleh Islam.
Sedangkan orang kafir yang mengganggu umat Islam, misalnya yang di Tolikara atau orang kafir Amerika yang memerangi umat Islam, maka HT berpandangan bahwa mua’amalah dengan mereka harus dengan mua’malatul harbi. Kita harus mengganggap mereka sebagai orang kafir yang sedang menyerang umat Islam. Kita tidak boleh bersikap lembut dan sayang kepada mereka.
Sementara orang kafir yang murtad, karena keluar dari Islam secara terang-terangan dan berpindah ke agama lain; atau karena sering menghina Islam dan syariahnya, padahal ia masih mengaku muslim, maka dalam hal ini sikap HT sebagaimana ketentuan syariah Islam. Dalam Islam, orang yang keluar dari Islam (murtad), sanksinya adalah dibunuh. Namun, yang dapat melakukan sanksi ini hanya negara, sebab negara itulah yang memiliki hal untuk menerapkan hukum kepada rakyatnya. HT tidak akan melakukan eksekusi mati kepada orang-orang yang murtad. Karena HT hanyalah organisasi masyarakat (kiyan fikri), bukan negara yang memiliki wewenang menerapkan hukum kepada rakyatnya (kiyan tanfidzi).
Jika negara tidakmau melakukannya, maka HT tak akan berhenti untuk mengingatkan dan mendakwahi para pengambil kebijakan agar menerapkan hukum Allah swt. Namun, HT menyadari bahwa mereka tidak akan mau menerapkan hukum Allah, karena hukum positif yang berlaku memang bukan hukum Allah, tetapi hukum buatan rakyat (demokrasi), maka HT berjuang sungguh-sungguh agar terjadi perubahan masyarakat dari sistem kapitalisme (yang berdasar hukum buatan rakyat) menuju sistem Khilafah (yang berdasar hukum Allah swt).
Inilah sikap HT. Perjuangan inilah yang terus dilakukan oleh HT.
Jadi, jika dikatakan bahwa HT mengkafirkan orang kafir dan menganggap sistem yang tidak Islamy sebagai sistem kufur, maka pernyataan itu MEMANG BENAR ADANYA. HT tidak pernah berpura-pura atau menutupi suatu masalah, karena hanya ingin cari selamat.
*****
Ketiga, Tentang permasalahan: apakah benar bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, maka ia kafir berdasarkan firman ayat surat Al-Maidah 44 di atas.
Jawabnya, belum tentu.
Untuk memahami segala sesuatu, kita harus melihatnya secara holistik atau menyeluruh. Ayat yang membicarakan tentang orang yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah, tidak hanya Al-Maidah ayat 44, tetapi juga juga Al-Maidah ayat 45 dan ayat 47. Pada ayat 45, Allah menyatakan bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir tetapi DZALIM. Sementara pada ayat ke 47, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, mereka adalah orang FASIQ. Dengan demikian, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt harus dirinci, tidak bisa langsung dihukumi sebagai KAFIR.
Dalam hal ini, Syeikh Syuwaiki telah memberikan rincian yang sangat detil dalam masalah ini dalam kitab Al-Kholas wa Ikhtilafu An-nas. Di dalam kitab ini, beliau juga menjelaskan penjelasan dari banyak ulama terkait masalah ini.
a. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah KAFIR, jika orang yang menerapkan hukum selain Allah tadi tidak meyakini hukum Allah, atau menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih adil dibanding hukum Allah swt. Misalnya, dalam kasus pencurian. Setelah terbukti bahwa seseorang melakukan pencurian yang sampai pada batas tertentu untuk dipotong tangannya. Tetapi ia memutuskan bahwa pencuri tersebut lebih baik dihukum penjara, karena menurutnya lebih manusiawi, lebih bijak, lebih sesuai HAM, dan lebih-lebih yang lain, dibanding dengan hukum potong tangan yang telah disyariahkan Allah swt. Maka dalam kondisi ini, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt adalah KAFIR.
b. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah FASIQ, jika orang tersebut masih meyakini hukum Allah swt sebagai hukum yang benar dan adil, tetapi karena suatu hal ia tidak bisa melaksanakan hukum Allah tersebut. Lalu pada saat yang sama, ketika ia menjatuhkan hukum, ia tetap memberikan hak seseorang sesuai hak-nya (yu’thi kulla dzi haqqin haqqahu). Contoh, dalam kasus pencurian tersebut. Ia tahu bahwa hukum Allah swt adalah potong tangan. Dan ini adalah hukum yang paling adil dan paling baik. Tetapi, ia tetap memutuskan orang yang mencuri dengan penjara karena berbagai hal (misalnya, karena itulah hukum positif yang ada), dan ia memutuskan barang yang dicuri harus dikembalikan kepada yang dicuri. Dalam kondisi ini, ia FASIQ. Ia merasa bahwa keputusannya adalah melanggar ketentuan Allah, namun ia berusaha memberikan haknya orang yang dicuri. Ia fasiq karena memutuskan hukum tidak sebagaimana yang diturunkan Allah swt yaitu “hukuman penjara”, bukan hukum “potong tangan”.
c. Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah DZALIM jika sama dengan kondisi (b), tetapi ia TIDAK memberikan hak kepada yang memilikinya (lam yu’thi kulla dzi haqqin haqqahu). Ia sewenang-wenang. Contoh dalam kasus pencurian di atas, misalnya, lalu ia memutuskan bahwa pencuri tersebut tidak salah, padahal ia tahu bahwa ia salah. Ketika memutuskan ini, ia sadar bahwa ia telah berdosa kepada Allah karena tidak berhukum dengan hukum Allah swt dan berbuat semena-mena kepada makhluknya Allah. Maka dalam kondisi ini, ia adalah orang yang DZALIM.
Jadi, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt, tidak bisa lantas disebut sebagai KAFIR. Sebab, selain KAFIR, atau dua kemungkinan lain, yaitu FASIQ atau DZALIM. Namun, memang harus dikatakan di sini, bahwa tidak ada ceritanya orang yang memutuskan hukum selain yang diturunkan Allah swt kemudian dinamakan sebagai orang ADIL. Sebutan ADIL itu hanya bisa diberikan kepada orang yang berhukum dengan hukum Allah swt. Allah berfirman, “Jika kalian berhukum, maka putuskanlah hukum secara adil” (QS. An-Nisa 58). Para ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan adil adalah berhukum sesuai dengan yang diturunkan oleh Allah swt.
Dalam hal ini, HT selalu menggunakan redaksi umum, misalnya “orang yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah swt tetapi mengunakan hukum manusia (demokrasi), mereka itu ada kalanya KAFIR, atau FASIQ, atau DZALIM”. Dan pernyataan ini sebetulnya hanyalah terjemahan dari surat al-Maidah 44, 45 dan 47. Dalam hal ini, HT TIDAK MEMBUAT PERNYATAANNYA SENDIRI. Sebaliknya, HT tidak pernah menggunakan redaksi khusus, mislanya “si A telah kafir”. Seandainya HT mengatakan “si A telah kafir”, pasti sudah dipastikan dan ditahqiq bahwa yang bersangkutan memang mengatakan secara verbal bahwa misalnya ia telah mengatakan: “hukum yang ada (demokrasi) memang lebih baik dibanding hukumnya Allah”. Maka dalam hal ini ia telah mengucapkan sesuatu yang telah membatalkan i’tiqodnya (keyakinannya). Para ulama juga telah menjelaskan dengan sangat detil, bahwa yang dapat membatalkan i’tiqod-nya seseorang itu bisa berupa ucapan, tindakan, atau keyakinan di dalam hati.
Jadi, HT tidak akan pernah mengkafirkan umat Islam atau seseorang yang tidak kafir. Justru HT menginginkan agar umat ini bersatu dan meraih kemulian bersama-sama. HT mengajak umat untuk bersatu di bawah Khilafah Islamiyah. Khilafah inilah sebenarnya inti dari persatuan umat.
Namun, jika ada sebagian orang yang MERASA dikafirkan HT karena HT mengutip al-Maidah 44, 45 dan 47, maka sebaiknya kita hati-hati dengan perasaan itu. HT hanya mengutip ayat al-qur’an. Jangan-jangan, kita bukan tersinggung oleh HT, tetapi tersinggung oleh ayat al-qur’an. Jika kita tersinggung dengan al-Qur’an, maka kita harus instropeksi. Sebab, orang Islam itu seharusnya hati-nya bergetar saat dibacakan al-Qur’an, dan sangat berterima kasih saat dinasihati seseorang dengan al-Qur’an, karena al-qur’an itu adalah petunjuk (hudan) dan obat penyakit hati (syifa’un li ma fish shudur). Tetapi, jika ada yang membacakan al-Qur’an kepada kita, lalu kita marah atau tersinggung dengan bacaan tersebut, barangkali memang ada “sesuatu” di hati kita.
Mungkin ada yang mengatakan: mengapa HT sering mengutip ayat itu, padahal ayat al-Qur’an itu kan banyak? Itu kan menuduh orang namanya?
Jawabnnya adalah sebuah pertanyaan: mengapa tidak boleh mengutip dan membaca ayat itu? Memangnya ada apa dengan ayat itu? Mengapa kita tertuduh dengan ayat itu? Memangnya apa yang sedang terjadi pada diri kita, sehingga kita tertuduh dengan sebagian ayat al-Qur’an?
Terus terang, HT tidak menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Pertanyaan ini hanya bisa kita jawab oleh diri kita sendiri.
Wallahu a’lam bish showab.