Selasa, 27 Juli 2010

ustd menjawab

Saudara Abdullah yang dirahmati Allah swt

Da’wah kepada Allah swt adalah perbuatan mulia di sisi-Nya karena dengannya manusia atau suatu masyarakat akan keluar dari lembah kejahiliyahan yang penuh dengan kemaksiatan menunju ketinggian marifah dan cahaya islam yang penuh dengan ketaatan dan keredhoan Allah swt.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. 41: 33)

Karena da’wah inilah umat Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari Allah swt dengan umat terbaik ditengah-tengah manusia karena hidup mereka bukanlah untuk diri mereka sendiri akan tetapi untuk orang lain dan umatnya. Peluh dan keringat yang membasahi tubuhnya, harta benda yang dikeluarkannya, ilmu yang tuangkannya, pemikiran konstruktif yang terus dieksplorasi hingga jiwa yang harus melayang didalam aktivitas da’wahnya adalah dikhidmatkan untuk umatnya semata-mata mengharap ridho Allah swt.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ


Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Al Imran : 110)

Sebaliknya dengan orang-orang Bani Israil yang dilaknat Allah swt dikarenakan tidak menegakkan da’wah dengan benar. Mereka hanya memikirkan dirinya dan tidak orang lain atau umatnya. Mereka adalah orang-orang egois yang pernah ada yang hanya berfikir kebaikan ada pada dirinya saja dan tidak pada orang lain sehingga hilang kebiasaan saling mencegah kemunkaran di tengah-tengah mereka.

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ ﴿٧٨﴾
كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ ﴿٧٩﴾


Artinya : “Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78 – 79)

Karena dawah kepada Allah memiliki tujuan mulia maka diharuskan bagi seorang da’i atau jamaah da’wah untuk berpegang teguh dengan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah swt didalam dawahnya.

Islam tidak mengenal istilah tujuan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan aturan-aturan syari yang ada didalamnya. Akan tetapi sebaliknya, islam berprinsip tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Islam tidak membenarkan seorang dai yang ingin menunjukkan hidayah kepada seorang pemabuk dengan cara ikut mabuk bersamanya, ikut berjudi bersama seorang penjudi yang diharapkannya mendapat hidayah, atau menunjuki umat kepada hidayah-Nya dengan uang hasil pemerasan, suap, menzhalimi orang atau cara-cara haram lainnya.

Tak seorang pun diperbolehkan merubah sesuatu yang telah dihalalkan Allah swt menjadi haram atau yang telah diharamkan-Nya menjadi halal hanya semata-mata baiknya tujuan yang akan dicapai atau untuk kemasalahatan umat dan dawah. Fiqh Dawah tidaklah dipakai sebagai sebuah alasan untuk melanggar hukum-hukum Allah swt.

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ


Artinya “Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf : 40)

Karena itu Allah dan Rasul-Nya mengecam para alim ulama dan ahli ibadah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah mengambil hak Allah didalam menentukan hukum terhadap sesuatu dengan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya dan Al Quran menyebut mereka sebagai tuhan (tandingan) Allah swt serta mengecam para pengikutnya yang mengikuti hukum-hukum yang dibuat mereka padahal bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan Allah swt.

Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Adi bin Hatim berkata: Aku mendatangi nabi Shallallahu saw dan di leherku ada salib emas, beliau bersabda: "Hai Adi, buanglah berhala itu darimu." Dan aku mendengar beliau membaca dalam surat Al Baraa`ah: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.' (At Taubah: 31) beliau bersabda: "Ingat, sesungguhnya mereka tidak menyembah mereka tapi bila mereka menghalalkan sesuatu, mereka menghalalkannya dan bila mengharamkan sesuatu, mereka mengharamkannya."

Semoga Allah swt senantiasa memberikan perlindungan kepada para dai yang senantiasa ikhlas menyeru di jalan-Nya dan memberikan kekuatan kepada mereka didalam berkomitmen dengan aturan-aturan dan hukum-hukum-Nya serta memberikan hidayah kepada umatnya. Amin

Kamis, 22 Juli 2010

Ki Bagoes Hadikusumo ( 1890-1954)

Ki Bagoes Hadikoesoemo (1890-1954)
PEJUANG SYARIAH YANG DIKHIANATI
SOEKARNO

Di indonesia, ketika masa penjajahan kekaisaran majusi jepang (1942-1945) penduduk yang mayoritas muslim ini di paksa untuk seikerei yakni membungkuk (mirip ruku’) ke arah tokyo sambil memusatkan hati kepada Hirohito (1991-1989). Hirohito adalah kaisar Jepang yang di anggap sebagai keturunaan dewata yang katanya turun dari kayangan untuk kemakmuran manusia dalam lingkungan asia raya dan di beri gelar tenno heika (yang maha mulia kaisar).
Doktrin Fasisme Najusi Jepang tersebut di tanamkan pula pada seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Setiap jam tujuh pagi semua murit wajip melakukan seikerei. Tentu hal itu membuat berang setiap Muslim yang imannya tertancap kokoh dalam jiwanya.
Maka bangkit lah para ulama penentang arus kemusrikan itu termasuk Ki Bagoes Hadikoesoemo, ketua umum Muhammadiah saat itu. Ia berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan umat islam dan warga Muhammadiah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. ”seikerei terlarang bagi umat islam karena bertentangan dengan tauhid!” tegasnya.

Pemimpin Umat,
Ki Bagoes di lahirkan di kampung kauman yogyakarta dengan nama Raden Hidayat pada 11 rabi’ul akhir 1038 H. Ia putra ke-3 dari 5 bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat agama islam di kraton Yogyakarta). Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagoes mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa kiai di kauman.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) di tambah mengaji dan besar di pesantren tradisional wonokromo, tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitap-kitap fikih antasauf akhirnya dia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat.
Secara formal, di sampang kegitan tabligh, Ki Bagoes pernah menjadi ketua majelis tabligh (1922), ketua majelis tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiah (1926), dan ketua PP Muhammadiah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan yang mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiah.
Ki Bagoes adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk mencontoh nabi Muhammad SAW yakni menginstutisionalisasikan islam. Bagi Ki Bagoes pelembagaan islam menjadi sangat penting untuk alasan –alasan idiologi, poliltis, dan juga intelektual.
Ki Bagoes juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya salah satu bukunya yanng ia tulis adalah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin.
Maka dalam rangka menegakkan hukum islam di Indonesia, di masa penjajahan kerajaan protestan belanda, ia dan bebera ulama lain nya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesteraden comisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum islam.
Akan tetapi Ki Bagoes di kecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang di dukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang di berlakukannnya hukum islam untuk kemudian di ganti dengan hukum adat melaluli penetapan ordonasi 1931.

Kekecewaannya ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu.

Namun ia tidak pata arang. Meskipun BPUPKI di buat oleh penjajah Jepang yang menunjuk pentolan nasionalis sekuler soekarno sebagai ketuanya, Ki Bagoes berusaha merealisasikan cita-citanya melalui badan itu. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang syari’ah dengan kelompok nasinalis sekuler dan kristen.

Pada 22 juni 1945, panitia 9 yang di bentuk BPUPKI menandatangani rancangan Undang-Undang Dasar Negara RI yang belakangan di sebut sebagai Piagam Jakarta. Meki telah di sahkan namun tetap menimbulkan kontropersi. Pihak islam belum puas. Begitu juga, pihak kristen di wakili Latuharharry sempat mmenyual rumusan tersebut.

Meski demikian perdebatan alot terus terjadi antara pejuang syari’h dan kelompok lainnya terutama terkait degan dasar negara dan formalisisi penerapan syari’ah islam. Ki Bagoes tentu saja di kubu islam yang menginginkan negara berdasarkan islam dan memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk menjalankan agamanya.

Sedangkan Soekarno berusaha menengahi denngan gaya kompromistis (baca:mencampurkan yang hak dan yang batil). Dalam rapat BPUPKI 11 juli 1945 Soekarno menyatakan,
“saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuann-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan di dasar kan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah di terima panitia ini”.
Pada rapat 14 Juli 1945, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya di coret. Jadi bunyinya hanya ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.
Karena Ki Bagoes menyadari Islam bukan saja mengajarkan ibadah Mahdhah yang hanya mengatur ritual kaum muslim saja tetapi merupakan ajaran yang sempurna yang mengatur negara dan masyrakat seperti yang telah di contohkan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW memimpin negara Madina dengan Syariah Islam padahal penduduknya Plural, disamping bermacam suku dari berbagai bangsa tetapi juga bermacam agama seperti Islam, Yahudi, Kristen dan penyembah berhala.
Pendapatnya pun ditolak kelompok Nasionalis Sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta anggota BPUPKI: “Sudahlah, hasil kompromi diantara dua pihak, sehingga dengan kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromi berdasar kepada memberi dan mengambi, geven dan nemen.”
Namun sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, dihapuslah kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata) itu alih-alih hanya menghapus tiga kata terakhirnya saja seperti yang diusulkan Ki Bagoes.
Tujuh kata tersebut, dihapus dengan dalih golongan protestan dan katolik lebih suka berdiri dipulau republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan pun melobi kelompok Islam termasuk Ki Bagoes agar setuju kata tersebut diganti dengan yang Maha Esa.
Almarhum Husein Umar (Terakhir sebagai ketua umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapak Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD Darurat, UU Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk apa yang tuan-tuan dari golongan Islam Inginkan silahkan perjuangkan disitu,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti 6 bulan lagi. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah Tauhid maka tentramlah Hati Ki Bagoes. karena dalam pandangan Ki Bagoes hanya Islamlah agama Tauhid. Namun 6 bulan kemudian Soekarno tidak menepati Janji. Majelis Permusyawaratan rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah Proklamasi (1955). Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian. [dari berbagai sumber]

Islam bukan sistem politik??

Islam bukan sebuah sistem Politik???
Tulisan ini saya kirim keforum milis myQuran@yahoogroups.com, myQuran@googlegroups.com dan eramuslim@yahoogroups.com dimana saya aktif pada ketiga milis tersebut dan sebagaimana sebelumnya tidak lupa juga saya CC-kan tulisan ini kealamat email Sdr. Ulil Abshar Abdhalla dan juga redaksi situs Islam Liberal yang saya temukan dialamat http://islamlib.com/id/kontak.php dengan harapan tulisan ini memang sampai ketujuan sebenarnya. [alamatnya : ulil99@yahoo.com ; redaksi@islamlib.com ]

INILAH AMAL PEMBUKA REZEKI

*


oleh mashadi

Manusia hanya dapat mengharapkan pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla. Tidak dapat menggantungkan diri kepada makhluk. Hanya Allah Rabbul Alamin yang berhak untuk dimintai pertolongan ‘Iyyaka nasyta’in’, datangnya pertolongan itu hanyalah dari Rabb semata.

Manusia dan kelompok yang menggantungkan hidupnya kepada makhluk lainnya, pasti akan mendapatkan dirinya terjatuh ke dalam lembah kehinaan dan kesesatan belaka.

Diantara pintu yang akan mengantarkan pintu rezeki, dan menjauhkan dari kesempitan hidup adalah :

1.Membaca “La ilaha illahah”.

Barang siapa yang lambat rezekinya hendaklah banyak mengucapkan la hawla wala quwwata illa billah (HR.At-Tabrani.

2.Membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”.

Barangsiapa yang membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”, maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur”. (HR. Abu Nu’aim dan Ad-Dailami).

3.Melanggengkan Istighfar.

“Barangsiapa melanggengkan istighfar, niscaya Allah mengeluarkan dia dari segala kesusahan dan memberikan dan memberikan dia rezeki dari arah yang tidak diduganya”. (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

4.Membaca Surah Al-Ikhlas.

“Barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas ketika masuk rumah, maka (berkah bacaan) menghilangkan kefakiran dari penghuni rumah dan tetangganya”. (HR.Tabrani).

5.Membaca surah al-Waqi’ah

“Barangsiapa membaca surah al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan ditimpa kesempitan hidup”. (HR. Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

6.Memperbanyak Shalawat atas Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam.

Ubay bin Ka’ab meriwayatkan , bila telah berlalu sepertiga malam, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam berdiri seraya bersabda, “Wahau manusia, berzikirlah mengingat Allah. Akan datang tiupan (sangkakala kiamat), pertama kemudian diiringi tiupan keuda. Akan datang kematian dan segala kesulitan yang ada di dalamnya”.

7.Membaca “Subhanallah wabihamdihi subhanallahil ‘adzhim.

..dari setiap kalimat itu seorang malaikat yang bertasbih kepada Allah Ta’ala sampai diberikan untukmu sampia hari Kiamat yang pahala tasbihnya itu diberikan untukmu”. (HR.Al-Mustaqfiri dalam Ad-Da’wat, dinukilkan dari Ihya Ulumuddin al-Ghazali).

Sementara itu, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada beberapa orang musyrik yang telah berbuat maksiat dan dosa, yaitu mereka membunuh dan berzina. Maka, m ereka menghadap Rasulullah untuk bertobat. Mereka pun bertanya kepada beliau, apakah akan diterima tobat mereka? Maka, turunlah ayat ini yang menerangkan hendaknya jangan berputus asa untuk terus mencari ampunan Allah Rabbul Alamin.

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Qur’an : Az-Zummar : 53)

Semoga Allah Azza Wa Jalla memberikan rezeki dan melapangkan jalan hidup kaum muslimin, dan jauhkan dari jalan-jalan setan, yang selalu akan menyesatkan. Wallahu’alam.

Rabu, 21 Juli 2010

~Menyoal Fiqh Al-Waqi` (karangan menyoal Fiqh Al-Waqi)

Fiqh al-wâqi‘ (fikih realitas) merupakan gagasan dasar Yusuf al-Qaradhawi dalam upayanya melakukan pembaruan fikih untuk menyikapi realitas modern. Dalam kitabnya, Fiqih Peradaban (1997), al-Qaradhawi menjelaskan, fiqh al-wâqi’ ialah pengetahuan mengenai realitas yang sebenarnya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. (1997: 292). Realitas ini penting dipahami karena, menurut al-Qaradhawi, pemahaman atas realitas akan menjadi pertimbangan tentang bagaimana kita berhubungan dengan realitas: apakah realitas itu akan kita terima atau kita tolak? (1997: 293)

Selasa, 13 Juli 2010

Seri Nahwu : Isim Mabni (الاسم المبنيّ) & Isim Mu'rab (الاسم المعرب )
Bagikan
Hari ini jam 11:10
Isim ditinjau dari i'rob dan bina' (bisa atau tidaknya berubah pada huruf/harokat terakhirnya) dibagi menjadi dua, yaitu isim mabni dan isim mu'rob.

1. Isim Mabni ( الاسم المبنيّ )

Isim mabni adalah isim yang harokat / huruf terakhirnya TIDAK dapat berubah walaupun kedudukannya berubah di dalam kalimat.

Misalnya : kata هَذِهِ (haadzihi = ini), di dalam kalimat tidak akan pernah mengalami perubahan harokat/ huruf di akhir katanya, jadi selalu هَذِهِ (haadzihi)


Macam-macam isim mabni terdiri dari :

* Isim Dhomir ( اسم الضمير ) = Kata ganti

Contoh :
هُوَ ، هُمَا ، هُمْ ، هِيَ ، هُمَا ، هُنَّ ، أَنْتَ ، أنتما ، أَنْتُمْ ، أنتِ ، أنتما ، أَنْتُنَّ ، أنا ، نَحْنُ


* Isim Isyaroh ( اسم الإشارة ) = Kata penunjuk

Contoh :
هَذَا، هَذَانِ، هؤلاء، هَذِهِ ، هَاتَانِ ، هؤلاء ، ذلك ، ذانك ، أُلئِكَ ، تِلْكَ ، تانك ، ألئك


* Isim Maushul ( الاسم الموصول ) = Kata sambung

Contoh :
الذي ، اللذان ، الذين ، التي ، اللّتان ، اللاتي


* Isim Syarat ( اسم الشرط ) = Kata syarat

Contoh :
مَنْ – مَتَى - مَا


* Isim Istifham ( اسم الاستفهام ) = Kata tanya

Contoh :
مَاذَا ، كَيْفَ ، أَيْنَ ، مَنْ ، لِمَاذَا ، مَتَي ، هَلْ



2. Isim Mu'rob

Isim mu'rob adalah isim yang harokat / huruf terakhirnya dapat berubah dengan berubahnya kedudukannya di dalam kalimat.

Misalnya: kalimat الرَجُل (ar-rajul = seorang laki-laki) di dalam kalimat bisa berakhiran dhommah (ar-rajulu), atau berakhiran fathah (ar-rajula), atau berakhiran kasroh (ar-rajuli).


Perubahan akhir kata ini bergantung pada kedudukannya (sebagai subjek, objek, mubtada', khobar, dll) di dalam kalimat, atau sesuai dengan i'robnya.

Macam-macam isim mu'rob terdiri dari :

* Isim mufrod ( الاسم المفرد )
* Isim mutsanna ( الاسم المثني )
* Jama' mudzakkar salim ( جمع مذكر سالم )
* Jama' muannats salim ( جمع مؤنث سالم )
* Jama' taksir ( جمع التكسير )
* Isim maqshur ( الاسم المقصور )
* Isim manqush ( الاسم المنقوص )
* Isim ghoiru munshorif ( اسم غير منصرف )
* Asma-ul khomsah ( الأسماء الخمسة )


Berikut adalah tabel tanda-tanda i'rob untuk masing-masing isim mu'rob :


Keterangan :

Pada tabel di atas, terdapat empat kolom.

* kolom pertama :
--> menunjukkan jenis-jenis isim mu'rob yang terdiri dari isim mufrod, isim maqshur, manqush, dst
* kolom kedua :
--> menerangkan tanda rofa' dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.
* kolom ketiga :
--> menerangkan tanda nashob dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.
* kolom keempat :
--> menerangkan tanda jarr dari masing-masing isim mu'rob beserta contohnya.



Misalnya : Isim mutsanna
Pada tabel di atas:
Tanda rofa'nya adalah dengan alif (ا), contohnya مُسلماَنِ (muslimaani)
Tanda nashob-nya adalah dengan ya' (ي), contohnya مُسلمَيْنِِ (muslimaini)
Tanda jar-nya adalah dengan ya' (ي) juga sama dengan tanda nashobnya, contohnya مُسلمَيْنِِ (muslimaini).



Contoh penerapannya di dalam kalimat pada isim mutsanna tersebut:

* Kalimat جاَءَ مُسلمَانِ (jaa-a Muslimaani) = Dua orang muslim telah datang.

Kenapa مُسلمَانِ (muslimaani) ? Karena kedudukan "Dua orang muslim" itu sebagai subjek (yang datang adalah dua orang muslim). Secara kaidah, bahwa subjek (fa'il) ber-i'rob rofa', dan karena ber-i'rob rofa' maka tandanya dengan alif (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَانِ (muslimaani).



* Kalimat رأيتُ مُسلمَينِ (ro-aitu Muslimaini) = Saya melihat dua orang muslim itu.

Kenapa مُسلمَيْنِ (muslimaani) ? Karena kedudukan "Dua orang muslim" itu sebagai objek (yang dilihat adalah dua orang muslim). Secara kaidah, bahwa objek ber-i'rob nashob', dan karena ber-i'rob nashob maka tandanya dengan ya' (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَيْنِ (muslimaini).



* Kalimat مَرَرتُ بِمُسلمَينِ (marortu bi muslimaini) = Saya berpapasan dengan dua orang muslim.

Kenapa مُسلمَيْنِ (muslimaini) ? Karena kata "Muslimaini" itu diawali dengan huruf jar (yaitu bi). Secara kaidah, bahwa setiap kata yang didahului oleh huruf jar adalah ber-i'rob jar (atau khofadh), dan karena ia ber-i'rob jar maka tandanya dengan ya' (sesuai dengan tabel di atas), sehingga penulisannya مُسلمَيْنِ (muslimaini).



Jadi, tidak semua tanda rofa' itu dhommah, tidak semua tanda nashob itu fathah, dan tidak semua tanda jar itu kasroh. Tanda-tanda asli itu hanya berlaku pada isim mufrod dan jama' taksir saja (coba lihat pada tabel di atas). Ada sebagian isim yang mirip dengan tanda asli tersebut seperti isim jama' muannats salim dan isim ghoiru munshorif. Hafalkanlah tabel di atas dengan cara Anda.

Materi lain :

* Pengenalan Ilmu Nahwu (النحو) & Shorof (الصرف)
* Seri Nahwu : I'ROB (الإعراب)
* Seri Nahwu : Isim Marfu’ (مرفوع), Manshub (منصوب) & Majrur (مجرور)

Rabu, 07 Juli 2010

~hukum - hukum seputar ibadah shaum dan qodho'nya~

Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.

Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1] Untuk kasus orang sakit misalnya. Di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Berikut ada beberapa permasalah seputar qodho’ puasa yang akan kami angkat ke tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga bermanfaat. Allahumma yassir wa a’in.[2]

Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa

Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu:

Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa.

Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.

Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.

Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[3]

Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan menyusui apakah mesti ada qodho’ puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti mengqodho’ puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada pula yang mengatakan cukup mengqodho’ puasa saja tanpa fidyah. Yang lain lagi mengatakan cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya, pembahasan mengenai puasa bagi wanita hamil dan menyusui butuh penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq dan ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus mengqodho’. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu’ (sabda Nabi) sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul. Namun, kami tetap menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan ini dan mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.

Dosa Besar Karena Sengaja Tidak Berpuasa Ramadhan

Di bulan Ramadhan, di antara kaum muslimin malah ada yang enak-enakan tidak berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar, namun mereka tidak berpuasa karena malas-malasan. Mereka tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) sama sekali.

Perlu diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa Ramadhan semacam ini termasuk dosa besar dan akan mendapatkan siksa sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut.

Abu Umamah Al Bahili menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan menolongmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung dan tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, ”Suara apa itu?” Mereka menjawab, ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian aku dibawa berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[4]

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[5]. Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[6]

Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya setelah kita mengetahui dosa akibat meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[7]

Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas:

أن العبادة المؤقتة بوقت إذا أخرجها الإنسان عن وقتها بلا عذر فإنها لا تنفع ولا تجزيء

“Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”

Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh:

Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.

Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[8]

Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”

Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.

Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[9]

Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[10]

Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[11]

Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.

Catatan:

Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai hadits marfu’ (sabda Nabi),

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ

“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya.” Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Mas’ud, maka hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun hadits tersebut dho’if, namun kita dapat melihat permasalahan orang yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia memiliki keharusan untuk mengqodho’nya. Sebagaimana seseorang yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats, tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk mengqodho’ shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho’ puasanya.

Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, “Orang yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho’ puasa atau shalat yang sengaja ia tinggalkan.” Namun yang lebih tepat, orang yang meninggalkan shalat atau puasa dengan sengaja tidak ada qodho’ baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya tidaklah bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban kewajiban. Dia tidak diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak bermanfaat baginya.”[12]

Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda

Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban.

Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[13]

Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[14]

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan Berikutnya

Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.

Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.”[15]

Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah, [2] mengqodho’ puasa, dan [3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa

Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”[16]

Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa

Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih sampai tiga pendapat.

Pendapat pertama: Tidak dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Inilah pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, pendapat Imam Malik, dan pendapat yang nampak pada madzhab Syafi’i. Di antara dalil mereka adalah firman Allah,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Jadi amalan puasa orang lain tidak bermanfaat bagi orang yang sudah mati.

Dalil yang lainnya adalah hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[17]

Pendapat kedua: Dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[18] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[19].

Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ – قَالَ – فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”[20] Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar.

Pendapat ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak untuk qodho’ puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan Al Laits.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua yaitu bagi orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa (baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang akan membayar qodho’ puasanya. Alasan pendapat kedua lebih kuat adalah,

1. Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa amalan yang dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang yang sudah mati di antaranya adalah amalan puasa.
2. Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus kecuali dari tiga perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan mayit dan bukan yang dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang lain untuk si mayit.
3. Puasa yang boleh diqodho’ oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya puasa nadzar saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan. Alasannya, hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas tidaklah saling bertentangan. Hadits ‘Aisyah memang bersifat umum yaitu membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.

Ibnu Hajar mengatakan,

فَحَدِيث اِبْن عَبَّاس صُورَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ سَأَلَ عَنْهَا مَنْ وَقَعَتْ لَهُ ، وَأَمَّا حَدِيث عَائِشَة فَهُوَ تَقْرِيرُ قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ

“Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”[21]

Kesimpulan: Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia tidak terlepas dari tiga kemungkinan:

1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal dunia dan dia tidak mampu membayar qodho’ puasa, untuk orang semacam ini tidak perlu dibayar qodho’ puasanya.
2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk membayar qodho’ puasa, namun dia tidak menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum ditunaikan, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.

Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[22]

Demikian pembahasan kami mengenai qodho’ Ramadhan. Semoga Allah selalu memberikan kita kepahaman dalam mempelajari agama ini. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

***

Diselesaikan pada hari Jum’at, 28 Ramadhan 1430 H, saat mudik di Kampung Ori – Maluku Tengah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com/

[1] Lihat Roudhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy, 1/58, Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh, cetakan kedua, 1399 H.

[2] Mayoritas pembahasan Qodho’ Ramadhan kali ini, penulis sarikan dari pembahasan Shahih Fiqih Sunnah, karangan Abu Malik, jilid kedua, ketika membahas qodho’ Ramadhan, di samping itu beberapa point adalah tambahan dari penulis sendiri.

[3] HR. Muslim no. 335

[4] HR. An Nasa’i dalam Al Kubra, sanadnya shahih. Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 25

[5] Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam beberapa penjelasan beliau.

[6] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/434, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah

[7] Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya.

[8] HR. Muslim no. 1718

[9] Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68, Asy Syamilah

[10] Idem

[11] Fatawa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah

[12] Jilsaatu Romadhoniyyah, 2/71, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyyah.

[13] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146

[14] Fathul Bari, 6/209, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[15] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347, Mawqi’ Al Ifta’

[16] Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih

[17] HR. Muslim no. 1631

[18] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147

[19] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

[20] HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148

[21] Fathul Bari, 6/212, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[22] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

http://www.rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2752-membayar-utang-qodho-puasa-ramadhan.html

http://adivictoria1924.wordpress.com/2010/07/07/hukum-hukum-seputar-qadho-shaum-ramadhan/

http://halqoh-online.com/hukum-hukum-seputar-qodho%E2%80%99-shaum-ramadhan/


Adi Victoria



al_ikhwan1924@yahoo.com
al_ikhwan1924@halqoh-online.com