Jumat, 18 Juni 2010

HUKUM ARAH KIBLAT

Hukum Arah Kiblat

Tanya :

Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser? Sahkah shalat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu? (Sukiyono, Pekanbaru)

Jawab :

Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,”Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang].” (Maratibul Ijma’, hal. 11).

Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),”Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,”Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,”Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang].” (Fathul Bari, 1/501).

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,”Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,“Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait).” (Al-Umm, 1/114).

Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).

Dalilnya sabda Nabi SAW,”Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shan’ani menjelaskan,”Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah.” (Subulus Salam, 1/134).

Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu a’lam. (KH Siddiq Al Jawie)

Rabu, 16 Juni 2010

Mengenal ilmu nahwu dan Shorof

Definisi marfu’, manshub dan majrur

Isim yang marfu’ adalah isim yang ber-i’rob rofa. Jama’ dari marfu’ adalah marfu’aat.
Isim yang manshub adalah isim yang ber-i’rob nashob. Jama’ dari manshub adalah manshubaat.
Isim yang majrur adalah isim yang ber-i’rob jar. Jama’ dari majrur adalah majruroot.

Misal :

Pada kalimat تـَعَـلـَّمَ أَحمَدُ اللغةَ العربيةَ في المسجدِ ( ta’allama Ahmadu al-lughatal ‘arobiyyata fil masjidi ) = Ahmad belajar bahasa Arab di masjid.

Kata أَحمَدُ ber-i’rob rofa’ sebab sebagai subjek (fa’il) dengan tanda dhommah (di akhir katanya). Karena ber-i’rob rofa’, maka kata أَحمَدُ tersebut dikatakan marfu’. Isim menjadi marfu’ dalam 6 keadaan, di antaranya adalah keadaan sebagai subjek (fa’il).

Kata اللغةَ ber-i’rob nashob sebab sebagai objek (maf’ul bih) dengan tanda fathah (di akhir katanya ). Karena ber-i’rob nashob, maka kata اللغةَ tersebut dikatakan manshub. Isim menjadi manshub dalam 11 keadaan, di antaranya adalah keadaan sebagai objek (maf’ul bih).

Kata المسجدِ ber-i’rob jar sebab didahului huruf jar (yaitu في) dengan tanda kasroh (di akhir kata ). Karena ber-i’rob jar, maka kata المسجدِ tersebut dikatakan majrur. Isim menjadi majrur dalam 2 keadaan, di antaranya “didahului huruf jar”.



Keadaan-keadaan (kedudukan) yang menyebabkan suatu isim menjadi marfu’, manshub, atau majrur :

* Isim-isim yang marfu’


Suatu isim menjadi marfu’ dalam 7 keadaan :

1. Mubtada’ (المبتدأ)
Yaitu isim marfu’ yang terletak di awal kalimat.

Misal : الكتابُ جديدٌ (Alkitaabu jadiidun) = Buku itu baru.

Kata الكتاب (= buku) merupakan mubtada’, karena terletak di awal kalimat.

2. Khobar Mubtada’ (الخبر)
Yaitu yang menyempurnakan makna mubtada’.

Pada kalimat الكتابُ جديدٌ di atas, kata جديدٌ (= baru) merupakan khobar, karena menyempurnakan makna mubtada’

3. Isim kaana ( اسم كان) dan saudara-saudaranya
Yaitu setiap mubtada’ yang dimasuki oleh kaana atau saudara-saudaranya.

Misal : كان الكتابُ جديدًا (Kaana al kitaabu jadiidan) = (Adalah/dahulu) Buku itu baru.

Kata الكتابُ (= buku) merupakan isim kaana, karena kata tersebut awalnya mubtada’, setelah dimasuki kaana, maka istilahnya bukan mubtada’ lagi, tetapi “isim kaana”.

4. Khobar Inna (خبر إنّ) dan saudara-saudaranya
Yaitu setiap khobar mubtada’ yang dimasuki oleh inna dan saudara-saudaranya.

Misal : إنَّ الكتابَ جديدٌ (inna al kitaaba jadiidun) = Sesungguhnya buku itu baru.

Kata جديدٌ (= baru) merupakan khobar inna, karena karena kata tersebut awalnya khobar mubtada’, setelah dimasuki inna, maka istilahnya bukan khobar mubtada’ lagi, tetapi “khobar inna”

5. Fa’il (الفاعل)
Yaitu isim marfu’ yang terletak setelah fi’il lil ma’lum (setelah kata kerja aktif) dan menunjukkan pada orang atau sesuatu yang melakukan perbuatan atau yang mensifati perbuatan tersebut. Dengan kata lain, Fa’il = subjek.

Misal : قـَرأ الطالبُ رسالةً (Qoro-a at-Tholibu risaalatan) = Siswa itu telah membaca surat.

Kata الطالبُ (= siswa) merupakan fa’il, karena terletak setelah kata kerja aktif (yaitu membaca), dan yang orang yang melakukan perbuatan (yang membaca adalah siswa), jadi siswa itu sebagai subjek.

6. Naibul Fa’il (نائب الفاعل)
Yaitu isim marfu’ yang terletak setelah fi’il mabni lil majhul (setelah kata kerja pasif) dan menempati kedudukan fa’il setelah dihapusnya fa’il tersebut.

Misal : قـُرِأتْ الرسالةُ (Quri’at ar-Risaalatu) = Surat itu telah dibaca.

Kata الرسالةُ (= surat) merupakan naibul fa’il, karena terletak setelah kata kerja pasif (yaitu dibaca)


* Isim-isim yang manshub


Suatu isim menjadi manshub dalam 11 keadaan :

1. Khobar Kaana (خبر كان)
Yaitu setiap khobar mubtada’ yang dimasuki oleh kaana atau saudaranya.

Misal : كان الكتابُ جديدًا ( Kaana al kitaabu jadiidan) = (Adalah/dahulu) Buku itu baru.

Kata جديدًا (= baru) merupakan khobar kaana, karena kata tersebut awalnya khobar mubtada’, setelah dimasuki kaana, maka istilahnya bukan khobar mubtada’ lagi, tetapi “khobar kaana”.

2. Isim Inna (اسم إن)
Yaitu setiap mubtada’ yang dimasuki oleh inna atau saudaranya.

Misal : إنَّ الكتابَ جديدٌ (inna al kitaabu jadiidun) = Sesungguhnya buku itu baru.

Kata الكتابَ (= buku) merupakan isim inna, karena karena kata tersebut awalnya mubtada’, setelah dimasuki inna, maka istilahnya bukan mubtada’ lagi, tetapi “isim inna”

3. Maf’ul Bih (المفعول به)
Yaitu isim manshub yang menunjukkan pada orang atau sesuatu yang dikenai suatu perbuatan. Dengan kata lain, maf’ul bih = objek.


Misal : قـَرأ الطالبُ رسالةً (Qoro-a at-Tholibu risaalatan) = Siswa itu telah membaca surat.

Kata رسالةً (= surat) merupakan maf’ul bih, karena yang dibaca adalah surat, jadi surat itu sebagai objek (maf’ul bih).

4. Maf’ul Muthlaq ( المفعول المطلق)
Yaitu isim manshub yang merupakan isim mashdar yang disebutkan untuk menekankan perbuatan, atau menjelaskan jenis atau bilangannya.

Misal : حفظتُ الدرسَ حـِفظاً (hafizhtu ad darsa hifzhon) = Saya benar-benar menghafal pelajaran.

Kata حـِفظاً (penghafalan) merupakan maf’ul muthlaq, karena merupakan isim masdar yang berfungsi untuk menekankan perbuatan, bermakna “benar-benar menghafal”

5. Maf’ul Li ajlih ( المفعول لأجله)
Yaitu isim manshub yang disebutkan setelah fi’il untuk menjelaskan sebab terjadinya perbuatan (merupakan jawaban dari “mengapa” perbuatan itu terjadi).

Misal : حَضَرَ عليُّ إكراماً لِمحمدٍ (hadhoro ‘Aliyyun ikrooman li Muhammadin) = Ali hadir karena memuliakan Muhammad.

Kata إكراماً (penghormatan) merupakan maf’ul liajlih, karena menjelaskan sebab Ali hadir, yaitu karena memuliakan ( إكراماً) Muhammad.

6. Maf’ul Ma’ah ( المفعول معه)
Yaitu isim manshub yang disebutkan setelah wawu yang maknanya bersama untuk menunjukkan kebersamaan.

Misal : استيقظتُ و تغريدَ الطيور (istaiqozhtu wa tagriida at-Thuyuuri) = Saya bangun bersamaan dengan kicauan burung-burung.

Kata تغريدَ (=kicauan) merupakan maf’ul ma’ah, karena didahului oleh huruf wawu ma’iyah, yang bermakna kebersamaan.

7. Maf’ul Fih ( المفعول فيه)
Yaitu isim manshub yang disebutkan untuk menjelaskan zaman (waktu) atau tempat terjadinya suatu perbuatan (merupakan jawaban dari “kapan” atau “dimana” perbuatan tersebut terjadi).

Misal : سافرتْ الطائرةُ ليلا (saafarot at-thooirotu lailan) = Pesawat itu mengudara di malam hari.

Kata ليلا (= malam hari) merupakan maf’ul fih, karena menjelaskan zaman (waktu).

8. Haal (الحال)
Yaitu isim nakiroh lagi manshub yang menjelaskan keadaan fa’il atau keadaan maf’ul bih ketika terjadinya suatu perbuatan (merupakan jawaban dari “bagaimana” terjadinya perbuatan tersebut).

Misal : جاء الولد باكيا (jaa-a al waladu baakiyan) = Anak itu datang dalam keadaan menangis.

Kata باكيا (=menangis) merupakan haal, karena menjelaskan keadaan subjek.

9. Mustatsna (المستثنى)
Yaitu isim manshub yang terletak setelah salah satu di antara alat-alat istitsna untuk menyelisihi hukum sebelumnya. Dengan kata lain, mustatsna = pengecualian.

Misal : حَضَرَ الطلابُ إلا زيداً (hadhoro at-Thulaabu illa Zaidan) = para siswa hadir kecuali Zaid

Kata زيداً (= Zaid) merupakan mustatsna, karena didahului oleh إلا (=kecuali) yang merupakan alat istitsna.

10. Munada’ (المنادى)
Yaitu isim yang terletak setelah salah satu diantara alat-alat nida’ (kata panggil).

Misal : يا رجلا (yaa rojulan) = Wahai seorang lelaki!

Kata رجلا (= seorang lelaki) merupakan munada’, karena didahului oleh يا (= wahai) yang merupakan salah satu alat nida’.

11. Tamyiiz (التمييز)
Yaitu isim nakiroh lagi mansub yang disebutkan untuk menjelaskan maksud dari kalimat sebelumnya yang rancu.

Misal : اشتريتُ عشرين كتابا (Istaroitu ‘Isyriina kitaaban) = Saya membeli dua puluh buku.

Kata كتابا (= buku) merupakan tamyiiz, karena buku tersebut menjelaskan ”dua puluh”, jikalau tidak ada kata “buku”, maka kalimat menjadi tidak jelas, “Saya membeli dua puluh”.


* Isim-isim yang majrur


Suatu isim menjadi majrur dalam 2 keadaan :

1. Didahului oleh huruf jar (سبقه حرف جر)

Misal : خرجتُ من المنزلِ (khorojtu minal manzili) = Saya keluar dari rumah.

Kata المنزلِ (= rumah) merupakan isim majrur, karena didahului oleh مِن (min = dari) yang merupakan huruf jar.

2. Mudhof Ilaih (مضاف إليه)

Yaitu isim yang disandarkan ke isim sebelumnya.
Misal : اشتريتُ خاَتِمَ حديدٍ (Isytaroitu khotima hadiidin) = Saya membeli cincin besi.

Kata حديدٍ (= besi) merupakan mudhof ilaih, karena disandarkan kepada خاَتِمَ (= cincin) yang maknanya cincin yang terbuat dari besi.



Tambahan

Selain keadaan-keadaan tersebut, ada satu keadaan yang dapat menyebabkan suatu isim menjadi marfu’, atau manshub, atau majrur, tergantung kata sebelumnya, jika kata sebelumnya marfu’ maka isim tersebut menjadi marfu’, jika manshub maka manshub, dan jika majrur maka majrur. Keadaan tersebut dinamakan Taabi’ (تابع).

Misal :
جاء رجلٌ كريمٌ (jaa-a rojulun kariimun) = Telah datang seorang lelaki yang mulia

رَأَيْتُُ رجلاً كريماً (ra-aitu rojulan kariiman) = Saya melihat seorang lelaki yang mulia

مَرَرْتُ برجلِ كريمٍ (marortu bi rajulin kariimin) = Saya berpapasan dengan seorang lelaki yang mulia.

Perhatikan setiap kata كريم (kariim) pada tiga kalimat di atas, i'robnya sesuai dengan kata sebelumnya.
Pada kalimat pertama i'robnya rofa' karena sebelumnya (yaitu رجلٌ ) ber-i'rob rofa'.
Pada kalimat kedua, i'robnya nashob' karena sebelumnya (yaitu رجلاً) ber-i'rob nashob.
Demikian juga pada kalimat ketiga, i'robnya jar karena sebelumnya (yaitu رجلِ ) ber-i'rob jar.

Taabi’ (تابع) ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu na’at (النعت), athof (العطف), taukid (التوكيد), dan badal (البدل).
Pada tiga contoh kalimat di atas, termasuk jenis na'at.

جزاكم الله خيرا كثيرا

Matur nuwun >> ^_^

Mengenal ilmu nahwu dan Shorof

1. Pengertian Nahwu (النحو)

Nahwu adalah ilmu yang mempelajari kaidah untuk mengenal fungsi-fungsi kata yang ada dalam kalimat, mengenal hukum akhir kata, dan untuk mengenal cara meng-i’rob.


* Mengenal fungsi-fungsi kata yang ada dalam kalimat.
Seperti fungsinya sebagai subjek (fa'il), objek (maf'ulun bihi), dll.

* Mengenal hukum akhir kata.
Seperti أحمدُ (Ahmadu), harokat akhirnya adalah dhommah, karena diakhiri dengan "u".

* Mengenal cara meng-i'robnya.
I'rob di dalam ilmu nahwu ada 4, yaitu : rofa', nashob, jar dan jazm. Insya Allah akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.


Contoh kalimat :
كَتَبَ الطَّالِبُ الدَّرْسَ ( kataba ath-thoolibu ad-darsa )

كَتَبَ = menulis
الطَّالِبُ = siswa
الدَّرْسَ = pelajaran



Dari kalimat di atas,

kata "الطَّالِبُ" berharokat akhir dhommah (ath-thoolibu)),
dan kata "الدَّرْسَ " berharokat akhir fathah (ad-darsa).



Di dalam ilmu nahwu, akan dipelajari bahwa setelah kata kerja (dalam kalimat tersebut kata kerjanya adalah كَتَبَ ) , maka :


* kata benda yang berharokat akhir dhommah fungsinya sebagai subjek,
* dan yang berharokat akhir fathah fungsinya sebagai objek.


Sehingga kalimat tersebut diartikan, "Siswa itu menulis pelajaran" karena "siswa" sebagai subjek (yang berharokat akhir dhommah) dan "pelajaran" sebagai objek (yang berharokat akhir fathah).

Cara meng-i'robnya :
كَتَبَ (kataba) adalah kata kerja.
الطَّالِبُ adalah kata benda berfungsi subjek yang rofa' dan tanda rofa'nya dengan dhommah.
الدَّرْسَ adalah kata benda berfungsi objek yang nashob dan tanda nashobnya dengan fathah.

Pembahasan tentang i'rob rofa', nashob, jar dan jazm akan dipelajari lebih detail pada pembahasan-pembahasan berikutnya.

2. Pengertian Shorof (الصرف)

Shorof menurut bahasa adalah berubah atau mengubah. Mengubah dari bentuk aslinya kepada bentuk yang lain. Misalnya mengubah bentuk bangunan rumah kuno menjadi bentuk bangunan rumah yang modern.

Adapun menurut istilah, shorof adalah berubahnya bentuk asal pertama yang berupa fi’il madhi, menjadi fi’l mudhori, isim mashdar, isim fa’il, isim maf’ul, fi’il amar, fi’il nahyi, isim zaman, isim makan sampai isim alat.

Maksud dan tujuan dari perubahan ini adalah agar memperoleh makna atau arti yang berbeda. Perubahan kata dari satu bentuk ke bentuk lainnya di dalam ilmu shorof dinamakan shighot.

Dari hal ini, ilmu yang mempelajari berbagai macam bentuk perubahan kata, asal usul kata atau keadaannya dinamakan dengan ILMU SHOROF.

# Pembagian Tashrif

Dalam ilmu shorof, para ulama telah membagi tashrif ini menjadi dua macam, yaitu Tashrif Lughawiy ( التصريف اللغوي ) dan Tashrif Ishthilahiy (التصريف الاصطلاحي

1. Tashrif lughowiy adalah jenis tashrif untuk mengetahui pelaku dari fi’il tersebut yang berdasarkan dhomir (kata ganti).

Contoh tashrif lughowiy :



2. Tashrif ishtilahiy adalah jenis tashrif yang digunakan untuk mengetahui bentuk shighot dari suatu kata, mulai dari fi’il madhi sampai dengan isim alat.

Contoh tashrif ishtilahiy :



Gambar di atas merupakan salah satu dari 22 bentuk perubahan dari tashrif ishtilahi.

3. Perbedaan Nahwu & Shorof

* Ilmu nahwu mempelajari kata setelah kata tersebut masuk ke dalam kalimat, adapun shorof mempelajari kata sebelum kata tersebut masuk ke dalam kalimat.
* Ilmu nahwu mempelajari hukum akhir kata, adapun ilmu shorof mempelajari pembentukan dan perubahan kata, dan umumnya di awal dan tengah kata.


Dalam bahasa Arab, ilmu nahwu dan shorof tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan. Ibarat sebuah keluarga, nahwu adalah bapaknya ilmu, sedangkan shorof adalah ibunya.



Materi lain :

* Seri Nahwu : I'ROB (الإعراب)
* Seri Nahwu : Isim Marfu’ (مرفوع), Manshub (منصوب) & Majrur (مجرور)

pengenalan ilmu nahwu & Shorof

Seri Nahwu : Isim Marfu’ (مرفوع), Manshub (منصوب) & Majrur (مجرور)
Bagikan
Senin pukul 18:52
Definisi marfu’, manshub dan majrur

Isim yang marfu’ adalah isim yang ber-i’rob rofa. Jama’ dari marfu’ adalah marfu’aat.
Isim yang manshub adalah isim yang ber-i’rob nashob. Jama’ dari manshub adalah manshubaat.
Isim yang majrur adalah isim yang ber-i’rob jar. Jama’ dari majrur adalah majruroot.

Misal :

Pada kalimat تـَعَـلـَّمَ أَحمَدُ اللغةَ العربيةَ في المسجدِ ( ta’allama Ahmadu al-lughatal ‘arobiyyata fil masjidi ) = Ahmad belajar bahasa Arab di masjid.

Kata أَحمَدُ ber-i’rob rofa’ sebab sebagai subjek (fa’il) dengan tanda dhommah (di akhir katanya). Karena ber-i’rob rofa’, maka kata أَحمَدُ tersebut dikatakan marfu’. Isim menjadi marfu’ dalam 6 keadaan, di antaranya adalah keadaan sebagai subjek (fa’il).

Kata اللغةَ ber-i’rob nashob sebab sebagai objek (maf’ul bih) dengan tanda fathah (di akhir katanya ). Karena ber-i’rob nashob, maka kata اللغةَ tersebut dikatakan manshub. Isim menjadi manshub dalam 11 keadaan, di antaranya adalah keadaan sebagai objek (maf’ul bih).

Kata المسجدِ ber-i’rob jar sebab didahului huruf jar (yaitu في) dengan tanda kasroh (di akhir kata ). Karena ber-i’rob jar, maka kata المسجدِ tersebut dikatakan majrur. Isim menjadi majrur dalam 2 keadaan, di antaranya “didahului huruf jar”.



Keadaan-keadaan (kedudukan) yang menyebabkan suatu isim menjadi marfu’, manshub, atau majrur :

* Isim-isim yang marfu’


Suatu isim menjadi marfu’ dalam 7 keadaan :

1. Mubtada’ (المبتدأ)
Yaitu isim marfu’ yang terletak di awal kalimat.

Misal : الكتابُ جديدٌ (Alkitaabu jadiidun) = Buku itu baru.

Kata الكتاب (= buku) merupakan mubtada’, karena terletak di awal kalimat.

2. Khobar Mubtada’ (الخبر)
Yaitu yang menyempurnakan makna mubtada’.

Pada kalimat الكتابُ جديدٌ di atas, kata جديدٌ (= baru) merupakan khobar, karena menyempurnakan makna mubtada’

3. Isim kaana ( اسم كان) dan saudara-saudaranya
Yaitu setiap mubtada’ yang dimasuki oleh kaana atau saudara-saudaranya.

Misal : كان الكتابُ جديدًا (Kaana al kitaabu jadiidan) = (Adalah/dahulu) Buku itu baru.

Kata الكتابُ (= buku) merupakan isim kaana, karena kata tersebut awalnya mubtada’, setelah dimasuki kaana, maka istilahnya bukan mubtada’ lagi, tetapi “isim kaana”.

4. Khobar Inna (خبر إنّ) dan saudara-saudaranya
Yaitu setiap khobar mubtada’ yang dimasuki oleh inna dan saudara-saudaranya.

Misal : إنَّ الكتابَ جديدٌ (inna al kitaaba jadiidun) = Sesungguhnya buku itu baru.

Kata جديدٌ (= baru) merupakan khobar inna, karena karena kata tersebut awalnya khobar mubtada’, setelah dimasuki inna, maka istilahnya bukan khobar mubtada’ lagi, tetapi “khobar inna”

5. Fa’il (الفاعل)
Yaitu isim marfu’ yang terletak setelah fi’il lil ma’lum (setelah kata kerja aktif) dan menunjukkan pada orang atau sesuatu yang melakukan perbuatan atau yang mensifati perbuatan tersebut. Dengan kata lain, Fa’il = subjek.

Misal : قـَرأ الطالبُ رسالةً (Qoro-a at-Tholibu risaalatan) = Siswa itu telah membaca surat.

Kata الطالبُ (= siswa) merupakan fa’il, karena terletak setelah kata kerja aktif (yaitu membaca), dan yang orang yang melakukan perbuatan (yang membaca adalah siswa), jadi siswa itu sebagai subjek.

6. Naibul Fa’il (نائب الفاعل)
Yaitu isim marfu’ yang terletak setelah fi’il mabni lil majhul (setelah kata kerja pasif) dan menempati kedudukan fa’il setelah dihapusnya fa’il tersebut.

Misal : قـُرِأتْ الرسالةُ (Quri’at ar-Risaalatu) = Surat itu telah dibaca.

Kata الرسالةُ (= surat) merupakan naibul fa’il, karena terletak setelah kata kerja pasif (yaitu dibaca)


* Isim-isim yang manshub


Suatu isim menjadi manshub dalam 11 keadaan :

1. Khobar Kaana (خبر كان)
Yaitu setiap khobar mubtada’ yang dimasuki oleh kaana atau saudaranya.

Misal : كان الكتابُ جديدًا ( Kaana al kitaabu jadiidan) = (Adalah/dahulu) Buku itu baru.

Kata جديدًا (= baru) merupakan khobar kaana, karena kata tersebut awalnya khobar mubtada’, setelah dimasuki kaana, maka istilahnya bukan khobar mubtada’ lagi, tetapi “khobar kaana”.

2. Isim Inna (اسم إن)
Yaitu setiap mubtada’ yang dimasuki oleh inna atau saudaranya.

Misal : إنَّ الكتابَ جديدٌ (inna al kitaabu jadiidun) = Sesungguhnya buku itu baru.

Kata الكتابَ (= buku) merupakan isim inna, karena karena kata tersebut awalnya mubtada’, setelah dimasuki inna, maka istilahnya bukan mubtada’ lagi, tetapi “isim inna”

3. Maf’ul Bih (المفعول به)
Yaitu isim manshub yang menunjukkan pada orang atau sesuatu yang dikenai suatu perbuatan. Dengan kata lain, maf’ul bih = objek.


Misal : قـَرأ الطالبُ رسالةً (Qoro-a at-Tholibu risaalatan) = Siswa itu telah membaca surat.

Kata رسالةً (= surat) merupakan maf’ul bih, karena yang dibaca adalah surat, jadi surat itu sebagai objek (maf’ul bih).

4. Maf’ul Muthlaq ( المفعول المطلق)
Yaitu isim manshub yang merupakan isim mashdar yang disebutkan untuk menekankan perbuatan, atau menjelaskan jenis atau bilangannya.

Misal : حفظتُ الدرسَ حـِفظاً (hafizhtu ad darsa hifzhon) = Saya benar-benar menghafal pelajaran.

Kata حـِفظاً (penghafalan) merupakan maf’ul muthlaq, karena merupakan isim masdar yang berfungsi untuk menekankan perbuatan, bermakna “benar-benar menghafal”

5. Maf’ul Li ajlih ( المفعول لأجله)
Yaitu isim manshub yang disebutkan setelah fi’il untuk menjelaskan sebab terjadinya perbuatan (merupakan jawaban dari “mengapa” perbuatan itu terjadi).

Misal : حَضَرَ عليُّ إكراماً لِمحمدٍ (hadhoro ‘Aliyyun ikrooman li Muhammadin) = Ali hadir karena memuliakan Muhammad.

Kata إكراماً (penghormatan) merupakan maf’ul liajlih, karena menjelaskan sebab Ali hadir, yaitu karena memuliakan ( إكراماً) Muhammad.

6. Maf’ul Ma’ah ( المفعول معه)
Yaitu isim manshub yang disebutkan setelah wawu yang maknanya bersama untuk menunjukkan kebersamaan.

Misal : استيقظتُ و تغريدَ الطيور (istaiqozhtu wa tagriida at-Thuyuuri) = Saya bangun bersamaan dengan kicauan burung-burung.

Kata تغريدَ (=kicauan) merupakan maf’ul ma’ah, karena didahului oleh huruf wawu ma’iyah, yang bermakna kebersamaan.

7. Maf’ul Fih ( المفعول فيه)
Yaitu isim manshub yang disebutkan untuk menjelaskan zaman (waktu) atau tempat terjadinya suatu perbuatan (merupakan jawaban dari “kapan” atau “dimana” perbuatan tersebut terjadi).

Misal : سافرتْ الطائرةُ ليلا (saafarot at-thooirotu lailan) = Pesawat itu mengudara di malam hari.

Kata ليلا (= malam hari) merupakan maf’ul fih, karena menjelaskan zaman (waktu).

8. Haal (الحال)
Yaitu isim nakiroh lagi manshub yang menjelaskan keadaan fa’il atau keadaan maf’ul bih ketika terjadinya suatu perbuatan (merupakan jawaban dari “bagaimana” terjadinya perbuatan tersebut).

Misal : جاء الولد باكيا (jaa-a al waladu baakiyan) = Anak itu datang dalam keadaan menangis.

Kata باكيا (=menangis) merupakan haal, karena menjelaskan keadaan subjek.

9. Mustatsna (المستثنى)
Yaitu isim manshub yang terletak setelah salah satu di antara alat-alat istitsna untuk menyelisihi hukum sebelumnya. Dengan kata lain, mustatsna = pengecualian.

Misal : حَضَرَ الطلابُ إلا زيداً (hadhoro at-Thulaabu illa Zaidan) = para siswa hadir kecuali Zaid

Kata زيداً (= Zaid) merupakan mustatsna, karena didahului oleh إلا (=kecuali) yang merupakan alat istitsna.

10. Munada’ (المنادى)
Yaitu isim yang terletak setelah salah satu diantara alat-alat nida’ (kata panggil).

Misal : يا رجلا (yaa rojulan) = Wahai seorang lelaki!

Kata رجلا (= seorang lelaki) merupakan munada’, karena didahului oleh يا (= wahai) yang merupakan salah satu alat nida’.

11. Tamyiiz (التمييز)
Yaitu isim nakiroh lagi mansub yang disebutkan untuk menjelaskan maksud dari kalimat sebelumnya yang rancu.

Misal : اشتريتُ عشرين كتابا (Istaroitu ‘Isyriina kitaaban) = Saya membeli dua puluh buku.

Kata كتابا (= buku) merupakan tamyiiz, karena buku tersebut menjelaskan ”dua puluh”, jikalau tidak ada kata “buku”, maka kalimat menjadi tidak jelas, “Saya membeli dua puluh”.


* Isim-isim yang majrur


Suatu isim menjadi majrur dalam 2 keadaan :

1. Didahului oleh huruf jar (سبقه حرف جر)

Misal : خرجتُ من المنزلِ (khorojtu minal manzili) = Saya keluar dari rumah.

Kata المنزلِ (= rumah) merupakan isim majrur, karena didahului oleh مِن (min = dari) yang merupakan huruf jar.

2. Mudhof Ilaih (مضاف إليه)

Yaitu isim yang disandarkan ke isim sebelumnya.
Misal : اشتريتُ خاَتِمَ حديدٍ (Isytaroitu khotima hadiidin) = Saya membeli cincin besi.

Kata حديدٍ (= besi) merupakan mudhof ilaih, karena disandarkan kepada خاَتِمَ (= cincin) yang maknanya cincin yang terbuat dari besi.



Tambahan

Selain keadaan-keadaan tersebut, ada satu keadaan yang dapat menyebabkan suatu isim menjadi marfu’, atau manshub, atau majrur, tergantung kata sebelumnya, jika kata sebelumnya marfu’ maka isim tersebut menjadi marfu’, jika manshub maka manshub, dan jika majrur maka majrur. Keadaan tersebut dinamakan Taabi’ (تابع).

Misal :
جاء رجلٌ كريمٌ (jaa-a rojulun kariimun) = Telah datang seorang lelaki yang mulia

رَأَيْتُُ رجلاً كريماً (ra-aitu rojulan kariiman) = Saya melihat seorang lelaki yang mulia

مَرَرْتُ برجلِ كريمٍ (marortu bi rajulin kariimin) = Saya berpapasan dengan seorang lelaki yang mulia.

Perhatikan setiap kata كريم (kariim) pada tiga kalimat di atas, i'robnya sesuai dengan kata sebelumnya.
Pada kalimat pertama i'robnya rofa' karena sebelumnya (yaitu رجلٌ ) ber-i'rob rofa'.
Pada kalimat kedua, i'robnya nashob' karena sebelumnya (yaitu رجلاً) ber-i'rob nashob.
Demikian juga pada kalimat ketiga, i'robnya jar karena sebelumnya (yaitu رجلِ ) ber-i'rob jar.

Taabi’ (تابع) ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu na’at (النعت), athof (العطف), taukid (التوكيد), dan badal (البدل).
Pada tiga contoh kalimat di atas, termasuk jenis na'at.

جزاكم الله خيرا كثيرا

Matur nuwun >> ^_^

Minggu, 13 Juni 2010

KHILAFAH AKAN TEGAK KEMBALI

“The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia .“( Goerge W. Bush).

Keruntuhan Uni Sovyet yang dikenal sebagai peristiwa bersejarah dan menunjukkan superioritas Kapitalisme terhadap Komunisme, adalah titik lahirnya babak baru dunia.

Meskipun Komunisme sempat menarik simpati selama